ISLAM DI NUSANTARA
PERJALANAN PANJANG REVOLUSI KULTURAL
Nusantara adalah sebuah nama yang digunakan
untuk menyebutkan bentangan pulau-pulau yang membentang dari Sumatera hingga
Papua, yang sebagian besar kumpulan pulau-pulau dalam bentangan itu menjadi wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini.
Istilah Nusantara setidaknya telah digunakan
sejak masa Kerajaan Majapahit sebagaimana sering disebutkan dalam beberapa
catatan kuno yang ditulis antara Abad 12 hingga Abad 16 untuk menggambarkan
ketatanegaraan Majapahit.
Nama Nusantara hampir saja terlupakan dan
hilang dalam budaya penyebutan wilayah-wilayah yang saat ini berada dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hingga akhirnya, mulai disebut-sebut
kembali saat kepopuleran nama Hindia Belanda berangsur surut sejalan dengan
Kemerdekaan Indonesia. Digunakannya kembali kata Nusantara pasca Kemerdekaan
Indonesia bertujuan untuk menggantikan nama Hindia Belanda yang telah hilang
kekuasaannya di Indonesia. Meskipun Negara ini menggunakan nama Indonesia,
namun untuk menyebutkan rangkaian pulau-pulau yang ada di dalamnya, istilah
Nusantara tetap digunakan.
AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI NUSANTARA
Sejak lama, Nusantara dikenal sebagai wilayah
yang menganut sistem kenegaraan berbentuk Kerajaan. Paling tidak, dapat kita
lihat nama-nama seperti Sriwijaya, Singhasari dan kemudian Majapahit yang
sangat dikenal dunia. Wilayah kerajaan-kerajaan tersebut berada dalam rentang
wilayah Kepulauan Nusantara.
Dalam sistem kenegaraan Kerajaan itu,
Raja-Raja yang berkuasa pada awalnya memegang kepercayaan pada Dewa-Dewa Hindu.
Keyakinan para Raja-Raja tersebut secara langsung mempengaruhi apa yang harus
dianut masyarakat yang ada di dalam kekuasaannya. Selain kepercayaan pada Agama
Hindu yang dianut para penguasa Nusantara saat itu, hadir pula pengaruh Agama
Buddha yang masuk melalui hubungan antar Kerajaan dan hubungan kekeluargaan
yang terjadi antar keluarga Kerajaan.
Penyebaran kepercayaan Agama Hindu dan Buddha
di Nusantara kala itu dapat dengan cepat tersebar karena pengaruh sang Raja
atau Penguasa wilayah. Sistem Kasta dalam Kerajaan dan juga dalam Agama Hindu
merupakan faktor utama pesatnya penyebaran keyakinan tersebut. Kepercayaan
Agama Hindu dalam bermasyarakat dibagi menjadi empat golongan utama. Brahmana,
Ksatria, Waisya dan Sudra merupakan pengelompokan masyarakat dalam Agama Hindu
yang juga dianut dalam sistem Kerajaan Hindu di Nusantara. Sistem ini digunakan
sebagai alat penyebaran keyakinan Agama yang efektif. Selain juga sebagai
pembeda dalam beberapa hal yang berlangsung dalam keseharian masyarakat.
Seperti perkawinan, pendidikan dan pekerjaan.
Kasta Brahmana merupakan golongan yang berisi
para pemuka Agama, Pendeta dan Guru Spiritual. Kasta inilah yang dipercaya
menyebarkan keyakinan Agama kepada masyarakat dan menjadi golongan yang paling
dipercaya dalam hal Keyakinan atau Agama.
Kasta Ksatria merupakan golongan para Raja,
Bangsawan dan Prajurit. Golongan ini menjadi yang dipercaya dalam hal mengurusi
urusan ketatanegaraan dan urusan kemasyarakatan lainnya. Mereka hanya dipercaya
untuk urusan duniawi, maka jika mereka berbicara urusan Keyakinan atau Agama
maka tidak pada porsinya dan tidak akan dipercaya karena itu adalah tugas Kasta
Brahmana.
Kasta Waisya adalah kasta menengah yang
berisi para Pedagang, Buruh dan Pengrajin. Golongan menengah ini hanya
berurusan dalam hal yang bersifat menyediakan kebutuhan dan bukan pengambil
keputusan ataupun penyebar sebuah paham keyakinan yang dipercaya.
Kasta Sudra adalah kasta terendah. Berisi
para Petani, Buruh, Kuli dan Pekerja Kasar lainnya. Golongan ini adalah pekerja
yang hanya melakukan perintah dari kasta Brahmana dan Ksatria.
ISLAM DI NUSANTARA
Penyebaran Islam di Nusantara setidaknya
sudah dimulai sejak Abad ke-7 hingga Abad 8 melalui para Pedagang-Pedagang dari
semenanjung Arab. Misi perdagangan yang bergandengan misi penyebaran Agama oleh
para pedagang, tentu saja tidak mungkin berhasil. Karena di Nusantara telah
mengakar sistem Kasta seperti yang disebutkan di atas.
Pedagang adalah Kasta Waisya, yang tidak
mungkin dipercaya jika kemudian mereka menyampaikan soal Keyakinan atau Agama.
Masyarakat Nusantara yang telah lama menganut Hindu dan berada dalam sistem
Kasta sangat mengedepankan sistem golongan yang berlaku dalam masyarakat.
Melihat kondisi tersebut, maka penyebaran
Islam di Nusantara sekitar Abad 7 hingga 8 tidak terlalu mendapatkan respon
yang gemilang. Perlu strategi yang lebih persuasif terhadap sistem kasta yang
berlaku di Nusantara.
Barulah kemudian setelah 7 Abad berlalu
sekitar Abad 14, pola penyebaran Islam di Nusantara menampakkan keberhasilan
yang pesat. Berawal dari seorang tokoh bernama Sayyid Muhammad As-Samarkand
yang kemudian menurunkan Sayyid Ibrahim As-Samarkand atau lebih dikenal dengan
nama Maulana Ibrahim Asmoroqondi, Islam dapat melenggang dengan pesat di
Nusantara.
Beliau Maulana Ibrahim Asmoroqondi yang
kemudian berkerabat dengan Raden Wijaya Raja Majapahit melalui pernikahan
saudarinya, kemudian berhasil masuk ke Nusantara dengan otomatis ber-Kasta
Brahmana. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan serius oleh beliau Maulana
Ibrahim. Terlebih, setelah putra putri beliau kemudian menjalin hubungan
pernikahan dengan keluarga-keluarga dalam lingkungan bangsawan Majapahit.
Islam berada di kalangan Kasta Brahmana saat
itu. Era tersebut dikenal dengan Era Walisongo (wali sembilan) yang merupakan
sekumpulan mubaligh yang sengaja dilembagakan secara turun temurun dan selalu
berjumlah sembilan.
Pada fase awal Wali Songo, kita melihat
kehadiran Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang merupakan putra Maulana Ibrahim dari
seorang Putri Kerajaan Champa. Sunan Ampel yang otomatis ber-Kasta Brahmana ini
merupakan ahli dalam bidang pendidikan. Beliau masuk ke Nusantara dengan
memanfaatkan Kasta Brahmana nya dan kemudian mengadopsi kebiasaan masyarakat
Hindu di Nusantara kala itu yang berkegiatan secara berkelompok dalam
padepokan-padepokan atau sanggar-sanggar. Pola inilah yang mengawali adanya
sistem pendidikan pesantren atau perguruan yang masih berlangsung hingga saat
ini.
Di wilayah pesisir bagian barat Nusantara, hadir
Sunan Gunung Jati. Beliau adalah keturunan Raja Siliwangi yang berarti
ber-Kasta Brahmana. Sunan Gunung Jati adalah ulama yang juga ahli strategi
perang. Beliau memanfaatkan Kasta Brahmana nya untuk menyebarkan Islam dengan
mengkolaborasikan ilmu Agama dan keahlian yang dimiliki.
Selanjutnya dapat kita lihat betapa pesatnya
penyebaran Islam di Nusantara di tangan para ulama yang lahir dari Kasta
Brahmana di Nusantara. Akulturasi Budaya otomatis menjadi jalan panjang
penyebaran Islam di fase awal Wali Songo. Terkadang dan memang pasti, bahwa
ketidak cocokan Budaya dan Syariat Islam harus dengan bijak dihadapi.
Penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dilakukan semata-mata dengan
menerapkan Syariat Islam secara penuh. Perlu tahapan berjenjang dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai Budaya masyarakat terdahulu agar masyarakat merasa
nyaman dengan kehadiran Islam meskipun yang menyampaikannya adalah seorang
Brahmana.
Merubah Budaya yang terbalut keyakinan Agama
terdahulu inilah yang kemudian menjadikan Islam membuktikan nilainya sebagai
Agama yang ternyata bisa fleksibel berada di mana saja tanpa harus melepas
kultur asli masyarakat di mana Islam akan di-syiarkan. Hingga sekarangpun,
masih dapat kita saksikan bagaimana Islam berada dalam kultur masyarakat Nusantara
yang telah ber-Abad lamanya berada dalam pengaruh Hindu dan Buddha sebagai
keyakinan awal masyarakat Nusantara.
Budaya berkegiatan secara berkelompok dalam
padepokan-padepokan yang kemudian dirubah menjadi tempat kegiatan belajar ilmu
Agama Islam yang saat ini kita kenal dengan Pesantren, merupakan hasil Revolusi
Kultur para Wali Songo. Begitu juga dengan Revolusi Kultur dalam bentuk rumah
ibadah yang mana Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam di Nusantara tetap
mengikuti model-model bangunan asli masyarakat setempat dan tidak harus
berbentuk bangunan Masjid seperti di Arab. Revolusi Kultur dalam hal
perayaan-perayaan hari besar pun dilakukan. Dalam peringatan hari-hari besar
Islam, model-model perayaan yang menjadi Budaya Nusantara dimasukkan nilai-nilai
Islam sehingga masyarakat Nusantara tidak merasa kehilangan identitasnya.
Begitulah kiranya Islam dapat tersebar luas
di Nusantara melalui proses Revolusi Kultur melalui ulama-ulama pembawa risalah
Islam yang merupakan keturunan para bangsawan ber-Kasta Brahmana. Saat ini,
semestinya dapat kita jaga hasil perjuangan para ulama tersebut, untuk tetap
menjadikan Nusantara ini ber-Islam dengan damai tanpa harus mencabut akar
Budaya masyarakatnya yang telah lebih dulu dan lebih lama berlaku di Nusantara.
Islam kita tetaplah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Muhammad SAW, namun identitas kita tetaplah sebagai Masyarakat
Nusantara. Dengan tetap ber-Islam dalam Identitas Nusantara, maka kita telah
membuktikan bahwa Islam memang benar merupakan Agama yang “Rahmatan lil
‘Alamin”. Nusantara Identitas Kita, Islam Agama Kita. Kita adalah Islam
Nusantara.