SANTRI DAN PESANTREN (Sebuah Tinjauan sejarah)

SANTRI DAN PESANTREN (Sebuah Tinjauan sejarah)

  

santri pesantren indonesia

 

Dunia pendidikan di Indonesia berkembang pesat seiring perkembangan zaman, berjalan saling berdampingan dan berkompetisi bersama tren model-model pendidikan umum baik formal maupun informal yang ada di seluruh dunia. Kesemuanya terakomodir dengan cukup baik oleh negara melalui produk-produk hukum terkait pendidikan dan yang berhubungan dengannya. Akses pada dunia pendidikan semakin mudah, dan semakin dapat dijangkau oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia dari berbagai strata sosial.

Tidak banyak kesimpulan yang secara detail dapat memastikan kapan kiranya awal dimulainya model pendidikan terpadu di Indonesia yang dahulu disebut Nusantara. Lini masa panjang Nusantara hingga resmi menggunakan nama Indonesia, tentunya juga meninggalkan kisah-kisah perjalanan dunia pendidikan di dalamnya. Meski tidak banyak literatur-literatur kuno masa lampau yang menceritakan secara terperinci dan eksplisit mengenai perjalanan dunia pendidikan di Nusantara. Namun demikian, dari adanya peninggalan literatur masa lampau tersebut, menunjukkan bahwa pendahulu-pendahulu bangsa Indonesia [Nusantara] merupakan orang-orang yang terpelajar karena bisa membuat catatan-catatan yang menjadi peninggalan berharga bagi generasi masa kini.

Setidaknya, model pendidikan di Nusantara pada masa lampau terlihat mulai diinisiasi dan dijalankan oleh para pemuka agama yang menyampaikan pendidikan agama sesuai metode “dakwah”nya masing-masing. Kajian utamanya adalah nilai-nilai ke-agama-an masing-masing agama yang lebih spesifik pada tujuan re-generasi tokoh pendakwah.

Beberapa model pendidikan berbasis ke-Agama-an yang kemudian berkembang di Nusantara [Indonesia], antara lain dalam Islam kita kenal istilah Majelis Taklim yang merupakan kelompok-kelompok masyarakat di berbagai tempat yang mengkaji ilmu agama dan dipandu oleh seorang kyai/ulama. Kemudian Madrasah Takmiliyah atau Madrasah Diniyah, yang lebih terorganisir dan memiliki kurikulum pelajaran serta berjenjang. Dalam agama Kristen dikenal istilah Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja dan Katekisasi. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat istilah Pasraman dan Pesantian yang merupakan lembaga pendidikan informal sebagai upaya agar pengetahuan dalam agama Hindu-Buddha lebih intensif. Lebih spesifik dalam agama Buddha, dikenal istilah Pabbaja Samanera yang lebih spesifik pada upaya regenerasi Bikkhu/Biksu.

Model pendidikan Pesantren dalam dunia pendidikan [informal] Islam, merupakan salah satu bentuk dari hasil produk akulturasi budaya di Indonesia [Nusantara]. Akulturasi budaya tersebut tidak lepas dari budaya awal (budaya agama) yang telah lebih dulu ada di Nusantara sebelum masuknya Islam. Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin (memberi kebaikan pada semesta alam), tidak memaksakan model-model penyebaran agama melalui pendidikan dengan menggunakan model-model lembaga pendidikan di tempat kelahirannya (Arab).

Islam, mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh para saudagar-saudagar berkebangsaan Arab (meski bukan berasal dari Hijaz). Para saudagar yang datang ke Nusantara, sebagian besar juga menguasai ilmu agama Islam dan menjadi seorang mubaligh. Setidaknya, terdapat beberapa versi sejarah yang menyampaikan mengenai periode masuknya Islam ke Nusantara. Salah satunya, jika mengambil sejarah masuknya Islam ke Nusantara menurut teori Mekah[1], maka agama Islam telah hadir di Nusantara sejak abad ke-7 atau sekitar tahun 651 M, yang mana saat itu ke-Khalifah-an Islam dipegang oleh Amirul Mukminin Utsman ibn Affan. Beliau memerintahkan utusan ke tanah Jawa [Nusantara], tepatnya ke Kalingga yang saat ini bernama Jepara.

Fakta lainnya menghadirkan bahwa beberapa dekade sebelum tahun 651 M juga telah ditemukan situs-situs Islam di wilayah Sumatera bagian utara. Wilayah Sumatera Utara yang telah lama dikenal sebagai tempat berkembangnya Islam adalah Barus. Catatan-catatan bangsa Tiongkok pun menceritakan adanya beberapa koloni bangsa Arab yang sudah menetap dan berinteraksi di Barus sejak awal-awal tahun Hijriyah, yakni sekitar tahun 30 Hijriyah atau sekitar tahun 625 M.

Interaksi-interaksi dalam hal penyampaian nilai-nilai ke-agama-an yang dilakukan para Mubaligh yang sekaligus berperan sebagai pedagang tersebut dilakukan di berbagai tempat dengan membentuk kelompok-kelompok kecil. Dengan semakin seringnya mereka bertemu dan berinteraksi dalam berbagai hal khususnya urusan perdagangan dan urusan agama, memungkinkan adanya sebuah ikatan saling membutuhkan diantara mereka. Interaksi dalam konteks ke-ilmuan tersebut, yang  melibatkan sang Mubaligh sebagai guru dan anggota-anggota masyarakat dalam kelompok (kecil maupun besar) yang membutuhkan penjelasan mendalam tentang ilmu agama inilah kemudian melahirkan istilah Santri yang dalam masyarakat Jawa dahulu biasa disebut Cantrik.

Cantrik adalah seseorang yang menjadi pengikut atau seseorang yang mempelajari sesuatu dengan serius secara terus menerus. Kata Cantrik merupakan bahasa Sansekerta yang biasa digunakan masyarakat Jawa pada masa lampau. Kata inilah yang kemudian diadaptasi menjadi “Santri”, sesuai dengan pemaknaan dan kesamaan aktivitas yang dilakukan Santri-Pesantren yang menjadi pengikut seorang ulama dan mengambil ilmu darinya.

Sedangkan seseorang yang menjadi pengajar ilmu agama dengan kompetensi sesuai standar keilmuan Islam biasa dikenal dengan berbagai nama yang merujuk pada satu istilah yakni Kyai atau Ulama. Di Jawa dikenal dengan sebutan Kyai (kiai), di Nusa Tenggara dikenal dengan sebutan Tuan Guru, sementara di Minangkabau dikenal dengan nama Inyiak dan Buya atau Abuya, Ajengan di wilayah Jawa Barat dan AnreGurutta di Sulawesi Selatan, yang kesemuanya merupakan istilah yang menggambarkan sosok Ulama atau Syekh dalam bahasa Arab.

Pesantren (pe-Santri-an), dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat murid-murid (santri) mempelajari ilmu dan segala hal yang menyertainya. Pada perkembangannya, dengan semakin banyaknya santri yang hadir dan memilih untuk tetap bersama panutannya (kyai/ulama), maka dibangunlah kamar-kamar tempat menginap (asrama atau pondok). Tempat-tempat berupa kamar santri itulah yang kemudian memunculkan istilah yang hingga sekarang digunakan, yakni Pondok Pesantren atau Asrama Santri yang mengadaptasi istilah Pashraman (ashram) dalam pendidikan agama Hindu-Buddha.

Istilah Pesantren juga dimungkinkan mengadopsi kata Pesantian yang digunakan umat Hindu-Buddha, sebagai tempat pembelajaran intensif dalam hal ilmu agama. Kemudian Pasraman atau “ashram” yang merujuk pada tempat tinggal para murid, yang kemudian diartikan sebagai “asrama” atau “pondokan/pondok”.

Definisi lainnya yang menjelaskan arti Pesantrenadalah proses pe-nyantri-an yang memiliki dua arti ; yaitu tempat santri atau proses menjadi santri (Soebahar 2013).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, disebutkan beberapa istilah Pesantren yang dikenal di indonesia. Disebutkan dalam Undang-Undang tersebut istilah Dayah yang digunakan masyarakat Aceh Darussalam untuk menyebutkan tempat belajar mengajar seperti halnya Pesantren. Dayah diadaptasi dari bahasa Arab yakni Zawiyyah yang dalam beberapa bentuk penulisan transliterasi Arab-Melayu ditulis Dhawiyah atau dalam kebiasaan pengucapan lisan melayu terdengar menjadi bunyi Dayah.

Sejak zaman dahulu, sejak zaman Kerajaan Islam Aceh Darussalam dan sampai sekarang lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut Dinamakan dengan Dayah (Depag RI 1993). Selain Dayah, masyarakat Aceh Darussalam juga menyebut tempat untuk berkegiatan seperti Pesantren dengan nama Meunasah. Kata Meunasah ini lebih relevan dengan Madrasah karena diadaptasi dari kata yang sama. Meunasah tidak hanya sebagai tempat belajar agama, tapi juga digunakan untuk kegiatan perayaan hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi SAW, Isra’ Mi’raj dan Nuzulul Qur’an.

Masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat) menyebut Pesantren dengan nama Surau. Di Minangkabau, Surau adalah sebutan bagi sebuah tempat/bangunan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat dalam melakukan banyak hal seperti rapat, kegiatan agama dan pembelajaran serta kegiatan interaksi sosial lainnya. Sementara di Jawa, Surau adalah bilik/ruang kecil yang digunakan untuk kegiatan ibadah. Sama fungsinya seperti halnya Masjid namun berbeda ukuran. Surau atau Langgar di Jawa hanya digunakan oleh komunitas kecil keluarga atau lingkungan beberapa keluarga saja. Kesemuanya memiliki kesamaan fungsi, hanya berbeda nama menyebutkannya saja.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pesantren yang berangkat dari istilah-istilah seperti sanggar dan padepokan adalah ruang publik tertua yang sudah dikenal di Nusantara. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara memang sudah masyhur dalam sejarah pendidikan masyarakat kita. Setidaknya, mulai dari wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Nusa Tenggara dan Bali memiliki tempat-tempat beribadah dan mempelajari ilmu agama yang mengarah pada istilah Pesantren dengan nama yang berbeda di masing-masing daerah tersebut.

Bukti-bukti sejarah dan peninggalan-peninggalan keberadaan Pesantren di era awal penyebaran Islam di Nusantara khususnya di wilayah Jawa secara keseluruhan masih bisa ditemui hingga sekarang. Salah satu Pesantren tertua yang masih bisa ditemui peninggalan fisik dan kisahnya adalah Pesantren Tegalsari Ponorogo, yang didirikan pada paruh awal abad ke-17 oleh seorang Ulama bernama Kyai Muhammad Besari (kyai Muhammad Bashari).  Pesantren Tegalsari Ponorogo yang juga dikenal masyarakat umum dengan nama Pesantren Gebang Tinatar merupakan salah satu Pesantren penting di wilayah Jawa yang menjadi tujuan utama bagi para bangsawan (kasta ksatria) Mataram untuk menitipkan putra-putra mereka mempelajari ilmu agama Islam.

Diantara tokoh-tokoh Nusantara yang pernah mengenyam pendidikan dan menyandang gelar Santri serta menjadi “alumni” Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo tersebut yakni Pakubuwono II Raja Mataram ke-9, ada juga Raden Ngabehi Ronggowarsito sang pujangga besar Kasunanan Surakarta cucu dari pujangga utama Kasunanan Surakarta Yosodipuro, kemudian tercatat pula nama Pangeran Diponegoro sebagai santri di Pesantren Tegalsari, serta tokoh pergerakan nasional HOS Cokroaminoto yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional dan menjadi guru dari beberapa tokoh pergerakan kemerdekaan nasional termasuk proklamator kemerdekaan Indonesia bung Karno.


santri pesantren indonesia
Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari masa Ronggowarsito (Dok.Claude_Guillot)


Dengan demikian, Pesantren bisa dikatakan bukan saja sebagai pusat pendidikan agama Islam semata, tapi juga sebagai tempat pembelajaran karakter kebangsaan bagi santri-santri yang ada di dalamnya. Karakter asli Nusantara yang melahirkan santri-santri berjiwa nasionalis yang loyal pada bangsa dan negaranya.

Keberadaan Pesantren dengan sistem pembelajaran Madrasah terpadu (bukan sanggar/padepokan) di Nusantara (khususnya Jawa), tercatat sudah ada sejak abad ke-17 dan 18. Beberapa Pesantren tertua yang masih bisa ditemui hingga sekarang, antara lain ; Pesantren Sidogiri yang didirikan tahun 1718 atau versi lainnya menyebutkan tahun 1745, kemudian Pesantren Jamsaren yang didirikan tahun 1750, lalu Pesantren Buntet Cirebon yang didirikan pada tahun 1750 dan Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan yang didirikan tahun 1787.

Pesantren-pesantren yang berdiri pada abad ke-17 dan abad ke-18 tersebut, tentu saja telah mendidik banyak santri. Dari sekian Pesantren yang telah mendidik banyak santri itu, kemudian meluluskan santri-santri yang pulang ke daerahnya masing-masing dan mendirikan Pesantren sendiri di daerahnya. Memasuki abad ke-19, perkembangan Pesantren sangat pesat dan semakin berkualitas. Sebut saja kemudian kehadiran Pesantren Langitan Tuban tahun 1852, lalu disusul oleh salah seorang santri Pesantren Langitan bernama KH. Khalil (Cholil) asal Bangkalan, Madura yang mendirikan Pesantren di Wilayah Kademangan Bangkalan, Madura pada tahun 1861. Pesantren di daerah Kademangan ini kemudian dikenal dengan nama Pesantren Syaikhona Kholil. Salah satu santri KH. Khalil yang berasal dari Jombang yakni KH. Hasyim Asy’ari kemudian kembali ke Jombang dan mendirikan Pesantren di daerah Cukir, Jombang pada tahun 1889 yang terkenal dengan nama Pesantren Tebuireng.


santri pesantren indonesia

Salah satu bagian dari Pesantren Tebuireng pada masa awal berdiri (Dok. Perpustakaan PBNU)

 

Hingga saat ini, lembaga pendidikan Pesantren masih dipercaya sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang memiliki ciri khas dalam menjaga serta membentuk karakter asli daerah masing-masing dan karakter bangsa Indonesia. Karakteristik Santri yang merupakan bagian penting pendidikan Pesantren dapat dilihat dari sikap mencintai daerah asalnya. Terbukti dengan banyaknya Pesantren yang didirikan pada era abad ke-17 hingga abad ke-19, dengan tidak menggunakan nama Pesantrennya dalam bahasa atau istilah Arab namun menggunakan nama daerahnya masing-masing. Sebut saja beberapa Pesantren yang telah disebutkan sebelumnya seperti Pesantren Tegalsari Ponorogo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Kademangan Bangkalan, Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Buntet Cirebon dan banyak lagi Pesantren-Pesantren yang menggunakan nama daerahnya sebagai wujud khidmat pendirinya pada daerah tempat tinggalnya serta sebagai gambaran karakteristik pendirinya. Dari sisi penamaan Pesantren menggunakan nama daerah ini saja, dapat terlihat betapa Pesantren benar-benar merupakan sebuah lembaga yang memiliki karakteristik dan ciri khas asli Nusantara yang memiliki banyak keragaman. Rasa memiliki dan ingin membangun daerahnya melalui Pesantren dapat terlihat dari penamaan Pesantren tersebut.


 

Selengkapnya mengenai perjalanan panjang Pesantren dan Santri di tanah air, akan dibahas dalam buku “Santri-Pesantren Indonesia ; Siaga Jiwa Raga Menuju Indonesia Emas 2045” yang akan segera terbit.

santri pesantren indonesia


 

Muhammad Arief Albani | Desember 2021

 

 

Daftar Bacaan :

 

Amrullah, Abdul Malik Karim. Dari Perbendaharaan Lama : Menyingkap Sejarah Islam di Indonesia. Gema Insani Press, 2017.

Ayatrohaedi. Sundakala ; Cuplikan sejarah Sunda Berdasarkan Naskah Naskah Panitia Wangsakerta Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya, 2005.

—. Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945). Jakarta: Pustaka Compass, 2016.

Departemen Agama RI. "Ensiklopedia Islam." 240. Jakarta: Departemen Agama RI, 1993.

 



[1] Terdapat tiga teori mengenai masuknya Islam ke Nusantara. Pertama adalah Teoti Gujarat yang menyampaikan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui Gujarat, India. Didukung oleh penjelasan bahwa orang-orang Arab ber-Madzhab Syafi’i bermigrasi ke Malabar dan Gujarat, lalu ke Nusantara melalui Sumatera. Didukung pula oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya “L’Arabie et Les Indes Neelandaises”. Teori kedua adalah Teori Mekah yang dicetuskan oleh Hamka atas koreksi Teori Gujarat yang menyatakan Islam masuk Nusantara pada abad ke-13, sedangkan menurut Hamka, Islam masuk Nusantara pada abad ke-7. Ketiga adalah Teori Persia oleh Hoesein Djajadiningrat yang hampir sama dengan Teori Gujarat. Hanya saja berbeda asal pembawanya, yakni ulama-ulama dari Persia.

 

ZIARAH KI AGENG PANDAN ARANG

ZIARAH KI AGENG PANDAN ARANG

 


 

Ki AGENG PANDAN ARANG (PANDANARAN I)

 

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah berpusat di Kota Semarang sebagai Ibukota Provinsi sekaligus Pusat Pemerintahan.

Saat ini, Semarang dibagi menjadi dua administratif yakni Kota Semarang yang dikepalai Walikota dan Kabupaten Semarang yang dikepalai Bupati. Dahulu nama Semarang adalah gabungan dari dua daerah tersebut. Nama Semarang, menurut berbagai sumber berawal dari kata Asem dan Arang. Hal ini merujuk pada kondisi daerah ini pada saat itu yang banyak ditumbuhi pohon Asem yang tumbuhnya Arang-Arang (jarang-jarang/berjarak-jarak).

Nama Semarang (sem “asem” arang “jarang”), awalnya dikenal dengan nama Pulau Tirang. Pusat Pulau Tirang adalah wilayah pesisir pantai Pragota (sekarang Bergota). Dahulu, Pulau Tirang adalah daerah yang belum berpenghuni, hanya ditumbuhi banyak tanaman pohon besar yang diantara tumbuhan-tumbuhan tersebut ditumbuhi Pohon Asem/Asam.

Pembangunan wilayah Pulau Tirang yang akhirnya menjadi semarang, tidak lepas dari peran Kesultanan Bintoro Demak. Tak lepas pula dari seorang Pangeran bernama Pangeran Pandanaran yang merupakan Cucu dari Pangeran Panembahan Sabrang Lor (Sultan Kedua Kesultanan Demak).

Pangeran Pandanaran kemudian diutus ke wilayah Pulau Tirang untuk memimpin daerah itu. Pangeran Pandanaran kemudian lebih dikenal masyarakat dengan nama Ki Ageng Pandanaran atau Kyai Ageng Pandanaran dan Pandaran I. Beliaulah yang mengganti nama Pulau Tirang menjadi Semarang. Beliau memilih tempat bermukim di wilayah Randusari atau yang disebut Sunan Kalijaga dengan nama Pragota yang kemudian berganti penyebutannya menjadi Bergota hingga sekarang.

Selain sebagai Pendiri sekaligus Bupati pertama Semarang, Ki Ageng Pandanaran atau Pandanaran I dikenal sebagai seorang penyebar Agama Islam di wilayah Semarang dan sekitarnya. Beliau sezaman dengan generasi Walisanga namun tidak termasuk dalam Dewan Wali. Beliau menyebarkan Islam di wilayah Semarang atas amanah Kesultanan Demak.

Sejarah berdirinya Semarang dinisbatkan kepada kehadiran Ki Ageng Pandanaran ke Pulau Tirang (mugas), meskipun akhirnya penetapan tahun berdirinya Semarang diambil dari tahun pengangkatan Sunan Pandanaran II (Sunan Bayat) pada tahun 1547 sebagai Bupati Semarang menggantikan Ayahnya yakni Ki Ageng Pandanaran I yang wafat. Menurut Juru Kunci Makam Pandanaran I, kehadiran Ki Ageng Pandanaran I hingga wafatnya dan diangkatnya putra beliau Pandanaran II berjarak sekitar 72 tahun. Ini berarti, kehadiran Ki Ageng Pandanaran I ke Pulau Tirang terjadi sekitar tahun 1475. Hal tersebut juga berarti bahwa Ki Ageng Pandanaran memasuki Pulau Tirang pada masa awal berdirinya Kerajaan Bintoro atau Kesultanan Demak Bintoro yang dipimpin Raden Fatah.

Sejarah telah mencatat bahwa beliau Ki Ageng Pandanaran lah yang mendirikan Semarang, yang kemudian diteruskan oleh putranya Sunan Pandanaran II yang kemudian dikenal sebagai Sunan Tembayat/Sunan Bayat.

Makam Ki Ageng Pandanaran berada di daerah yang beliau singgahi pertama kali dan menjadi tempat bermukim beliau hingga akhir hayat. Daerah Pulau Tirang atau Tirang Ngampar yang saat ini bernama Mugas atau Mugasari inilah beliau bermukim dan menjalankan pemerintahan Kabupaten Semarang hingga wafat dan dimakamkan.

Jika kita merencanakan perjalanan “nyekar” ke sini atau ke Makam Bergota, maka perjalan tersebut merupakan perjalan sepaket. Artinya, jika kita nyekar ke Makam Bergota dulu maka hanya perlu menyeberang jalan untuk sampai ke Komplek makam Ki Ageng Pandanaran. Letak makam beliau berada di tengah Kota semarang saat ini. Bisa diakses melalui Simpang Lima atau Kantor Gubernur Jawa Tengah. Dari arah jalan Pandanaran hingga ke Pemakaman Bergota atau melalui GOR Tri Lomba Juang.


Baca juga : Ziarah Habib Nuh Alhabsyi Singapore


Untuk menuju Makam yang berada di atas perbukitan, peziarah harus melalui 40 anak tangga yang cukup lega. Tidak terlalu melelahkan untuk menapaki anak tangga sebanyak itu. Selain anak tangga yang cukup lebar dan kemiringan yang landai, di sekitar juga banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Penulis yang saat nyekar menggendong anakpun tidak merasa lelah menaiki anak tangga hingga ke Komplek Makam.

Terdapat dua buah gapura berwarna hijau yang akan menyambut para peziarah. Setiap gapura bertuliskan aksara jawa yang mengandung makna filosofis. Pada Gapura pertama terdapat tulisan aksara jawa yang dapat dibaca “Manunggaling Karsa Memuji Marang Gusti”, bermakna bahwa “Jika segala yang diharapkan dapat menyatu dengan Allah SWT, maka akan menemui keberhasilan”. Sedangkan pada gapura kedua yang juga berwarna hijau bertuliskan “Makam Sunan Pandanaran Semarang” yang menandakan bahwa yang berada di Makam ini adalah Sunan Pandanaran pendiri Semarang.

Sampai di Komplek Makam, penulis istirahat sejenak di sebuah ruang yang dahulu difungsikan oleh Ki Ageng Pandanaran sebagai ruang menerima tamu atau rapat. Di ruangan tersebut masih tersimpan mihrab Ki Ageng Pandaranan yang beliau gunakan sebagai tempat berdzikir dan bermunajat kepada Allah SWT.


Untuk masuk ke dalam ruang Pusara Ki Ageng Pandanaran, harus melewati semacam pintu kecil yang dibatasi tembok berukuran kecil dan tidak semua orang bisa masuk ke dalamnya. Peziarah biasanya hanya sampai di ruang tamu tadi dan memanjatkan do’a dari tempat tersebut.

Di area Kompleks makam ini terdapat Masjid Ki Ageng Pandanaran yang merupakan Masjid peninggalan beliau dan sebuah pendopo tempat berkumpul. Makam ini ramai setiap hari, terlebih pada saat hari jadi Semarang. Pada Hari Jadi Semarang, biasanya akan dilakukan Ziarah Tahunan ke makam-makam Alim Ulama serta tokoh-tokoh pendiri Semarang termasuk ke Makam Ki Ageng Pandanaran ini.

Tak jauh dari Kompleks Pemakaman Ki Ageng Pandanaran ini, terdapat Pemakaman Bergota yang terkenal. Di pemakaman Bergota tersebut, dimakamkan seorang Ulama besar tanah Jawa asal Jepara yakni Kyai Sholeh Darat yang menjadi guru dari beberapa Ulama dan tokoh besar seperti KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan RA. Kartini.

“Wediya Marang Gusti” Tulisan dengan aksara jawa itulah yang akan menyambut kita di pintu menuju Pusara Agung Ki Ageng Pandanaran.

Semoga beliau Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Pandanaran I selalu dikenang dalam sejarah dan ditempatkan di tempat mulia di sisi Allah SWT.


ZIARAH HABIB NUH ALHABSYIE

ZIARAH HABIB NUH ALHABSYIE

  


MAKAM HABIB NUH AL-HABSYI DAN MASJID MUHAMMAD SALEH

 

Kebanyakan dari kita warga Nahdliyin, jika ke Singapore pastinya langsung ke Mustafa Centre di Jalan Syed Alwi atau ke Bugis Street untuk belanja-belanja. Bahkan ada juga dari kita yang seharian penuh di pusat rekreasi Universal Studio. Bahkan bisa menyempatkan waktu untuk sekedar ber-swa foto di area patung singa Merlion.

Hampir-hampir tidak ada yang sengaja ke Singapore untuk meniatkan diri berziarah ke Makam seorang waliyullah keturunan Hadhramaut yang lokasi makamnya berada di pusat bisnis Singapore di daerah Shenton tepatnya di Jalan Palmer. Akses ke makampun sangat mudah menggunakan MRT, Bus bahkan berjalan kaki dari Merlion (patung singa).

Habib Nuh bin Muhammad Al-Habsyi adalah seorang Ulama Melayu abad 18 yang banyak menghabiskan waktunya di sekitar Indonesia, Malaysia dan Singapore. Ayah beliau berasal dari Hadhramaut, Yaman yang berdakwah di semenanjung Malaysia hingga Palembang, Indonesia.

Menurut banyak kisah, Ayah beliau Habib Nuh yakni Habib Muhammad Al-Habsyi adalah Pejabat Istana di Kesultanan Kedah, Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Ahmad Tajudin Halim Shah II yang memerintah Kesultanan Kedah sekitar tahun 1791-1843. Habib Muhammad Al-Habsyi mendampingi Sultan Ahmad Tajudin Halim Shah II melawan invasi besar-besaran Siam (Thailand) yang ingin menguasai daerah Kedah, malaysia.

Kisah kelahiran Habib Nuh Al-Habsyi sangat masyhur di kalangan penduduk Betawi (batavia/jakarta) dan orang-orang Malaysia dan Singapore. Beliau dikisahkan lahir di atas kapal dalam perjalanan dari Palembang, Indonesia menuju Penang, Malaysia. Kapal yang ditumpangi Habib Muhammad Al-Habsyi serta Syarifah Fathimah diterjang badai besar yang seolah akan membalikkan kapal yang mereka tumpangi. Habib Muhammad Al-Habsyi bernadzar, jika anak mereka dilahirkan di atas kapal ini dan kapal ini selamat hingga bersandar maka anak tersebut akan dinamakan “Nuh” (merujuk pada kisah Nabi Nuh as).

Benar saja, akhirnya Habib Nuh lahir di atas kapal dan kapal berhasil merapat di pelabuhan Penang, Malaysia. Singkatnya, Habib Nuh bin Muhammad Al-Habsyi akhrnya menghabiskan sebagian masa kecil hingga remajanya di Penang.

Kedatangan Habib Nuh Al-Habsyi ke Singapore sekitar tahun 1819 saat usia beliau 30 tahun. Menurut Haji Sofwan yang menjadi Imam di Masjid Muhammad Saleh yang menjadi “juru kunci” Makam, beliau Habib Nuh awalnya bermukim di daerah Masjid Sultan di wilayah Kampung Arab. Jadi, tempat beliau dimakamkan ini bukanlah tempat beliau bermukim. Tempat ini adalah tempat favorit beliau saat ber-“khalwat” karewna lokasinya yang merupakan bukit dan berada di bibir pantai/laut.

Habib Nuh Al-Habsyi dikenal oleh masyarakat Singapore yang mayoritas beragama Nasrani dan Khonghucu Tionghoa sebagai seorang Ulama Islam yang sangat baik dan terhormat. Beliau sering terlihat melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan orang. Selain itu, beliau juga dikenal sangat dermawan pada anak-anak serta orang-orang tidak mampu. Beliau sering membagi-bagikan hartanya, berupa pakaian, makanan serta barang lainnya yang dibutuhkan orang yang kurang mampu.

Baca juga : Ziarah Makam Ki Ageng Pandan Arang (Pandanaran I)

Salah satu karomah Habib Nuh Al-Habsyi yang sangat masyhur dikisahkan oleh berbagai kalangan adalah saat Habib Nuh mengetahui Nadzar seorang pedagang yang sedang bertahan dalam kapalnya di tengah badai besar. Saudagar itu bernadzar akan memberikan hadiah berupa harta dan kain yang bagus kepada Habib Nuh Al-Habsyi jika kapal yang ditumpanginya bisa selamat hingga merapat di Singapore. Sesampainya kapal itu di pelabuhan Singapore, Habib Nuh Al-Habsyi telah berada di pinggir dermaga menunggu saudagar tersebut dan menyambutnya. Saat saudagar itu menemui Habib Nuh Al-Habsyi di pinggir dermaga, Habib Nuh Al-Habsyi langsung menanyakan nadzar yang dibuat oleh saudagar tersebut.

Banyak lagi karomah Habib Nuh Al-Habsyi yang telah menjadi seperti cerita wajib bagi para Muhibbin di wilayah Malaysia dan Singapore.


 

Letak Makam habib Nuh Al-Habsyi di Bukit Palmer adalah karena seringnya beliau habib Nuh melakukan ibadah serta memanjatkan do’a di atas bukit tersebut. Salah satu sahabat Habib Nuh yakni Haji Muhammad Saleh yang berasal dari Betawi (batavia), merasa sangat prihatin melihat sahabat yang juga gurunya itu melakukan ibadah di atas bukit tanpa adanya sarana yang memadai. Haji Muhammad Saleh pun berjanji akan membangunkan sebuah surau kecil di bukit itu agar Habib Nuh bisa berteduh dan nyaman beribadah. Namun, hingga wafatnya Habib Nuh Al-Habsyi pada tahun 1866 di usia 78 tahun, Haji Muhammad Saleh belum bisa memenuhi janjinya tersebut.  Barulah setahun sepeninggal Habib Nuh, Haji Muhammad Saleh membangun sebuah surau kecil agar para tamu yang berziarah ke makam dapat melaksanakan sholat dan nyaman memanjatkan do’a.

Sedangkan Makam Habib Nuh Al-Habsyi baru bisa dipugar oleh pemerintah Singapore pada tahun 1890 dan pada tahun 1930 pelestarian makam ditangani oleh Komunitas Muslim dan Hindu Singapore yang selanjutnya dipegang oleh Muslem Council of Singapore (MUIS).

Habib Nuh Al-Habsyi memiliki seorang adik laki-laki yang bermukim dan wafat di daerah Daik, Kepulauan Riau. Sedangkan sebagian besar dzuriyah Habib Nuh hingga saat ini tersebar antara Singapore dan Penang.

Makam Habib Nuh dan Masjid Muhammad Saleh ini selalu ramai dikunjungi peziarah setiap harinya. Habib Umar bin Hafidz Tarim selalu memilih rute ziarah ke Habib Nuh Al-Habsyi sebelum melanjutkan perjalanan ke Indonesia. Begitu pula Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin yahya Pekalongan juga sering berziarah ke makam Habib Nuh ini baik dengan kelompok kecil pribadi maupun dengan rombongan jama’ah. Ziarah kami ke sini pun awalnya bersama rombongan Habib Ahmad Al-Habsyi Solo beserta Habib Fuad Alkaff Karanglewas. Setelah itu, kami beberapa kali kembali berziarah ke Makam Habib Nuh Al-Habsyi sendiri bersama keluarga kecil kami. Semoga kami tercatat sebagai Muhibbin pencinta dzuriyah Nabi SAW yang akan memperoleh Syafaat Nabi Muhammad SAW kelak. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin.

 


 

 

 

ISLAM DI NUSANTARA

ISLAM DI NUSANTARA

 


ISLAM DI NUSANTARA

PERJALANAN PANJANG REVOLUSI KULTURAL

 

Nusantara adalah sebuah nama yang digunakan untuk menyebutkan bentangan pulau-pulau yang membentang dari Sumatera hingga Papua, yang sebagian besar kumpulan pulau-pulau dalam bentangan itu menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini.

Istilah Nusantara setidaknya telah digunakan sejak masa Kerajaan Majapahit sebagaimana sering disebutkan dalam beberapa catatan kuno yang ditulis antara Abad 12 hingga Abad 16 untuk menggambarkan ketatanegaraan Majapahit.

Nama Nusantara hampir saja terlupakan dan hilang dalam budaya penyebutan wilayah-wilayah yang saat ini berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hingga akhirnya, mulai disebut-sebut kembali saat kepopuleran nama Hindia Belanda berangsur surut sejalan dengan Kemerdekaan Indonesia. Digunakannya kembali kata Nusantara pasca Kemerdekaan Indonesia bertujuan untuk menggantikan nama Hindia Belanda yang telah hilang kekuasaannya di Indonesia. Meskipun Negara ini menggunakan nama Indonesia, namun untuk menyebutkan rangkaian pulau-pulau yang ada di dalamnya, istilah Nusantara tetap digunakan.

 

AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI NUSANTARA

Sejak lama, Nusantara dikenal sebagai wilayah yang menganut sistem kenegaraan berbentuk Kerajaan. Paling tidak, dapat kita lihat nama-nama seperti Sriwijaya, Singhasari dan kemudian Majapahit yang sangat dikenal dunia. Wilayah kerajaan-kerajaan tersebut berada dalam rentang wilayah Kepulauan Nusantara.

Dalam sistem kenegaraan Kerajaan itu, Raja-Raja yang berkuasa pada awalnya memegang kepercayaan pada Dewa-Dewa Hindu. Keyakinan para Raja-Raja tersebut secara langsung mempengaruhi apa yang harus dianut masyarakat yang ada di dalam kekuasaannya. Selain kepercayaan pada Agama Hindu yang dianut para penguasa Nusantara saat itu, hadir pula pengaruh Agama Buddha yang masuk melalui hubungan antar Kerajaan dan hubungan kekeluargaan yang terjadi antar keluarga Kerajaan.

Penyebaran kepercayaan Agama Hindu dan Buddha di Nusantara kala itu dapat dengan cepat tersebar karena pengaruh sang Raja atau Penguasa wilayah. Sistem Kasta dalam Kerajaan dan juga dalam Agama Hindu merupakan faktor utama pesatnya penyebaran keyakinan tersebut. Kepercayaan Agama Hindu dalam bermasyarakat dibagi menjadi empat golongan utama. Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra merupakan pengelompokan masyarakat dalam Agama Hindu yang juga dianut dalam sistem Kerajaan Hindu di Nusantara. Sistem ini digunakan sebagai alat penyebaran keyakinan Agama yang efektif. Selain juga sebagai pembeda dalam beberapa hal yang berlangsung dalam keseharian masyarakat. Seperti perkawinan, pendidikan dan pekerjaan.

Kasta Brahmana merupakan golongan yang berisi para pemuka Agama, Pendeta dan Guru Spiritual. Kasta inilah yang dipercaya menyebarkan keyakinan Agama kepada masyarakat dan menjadi golongan yang paling dipercaya dalam hal Keyakinan atau Agama.

Kasta Ksatria merupakan golongan para Raja, Bangsawan dan Prajurit. Golongan ini menjadi yang dipercaya dalam hal mengurusi urusan ketatanegaraan dan urusan kemasyarakatan lainnya. Mereka hanya dipercaya untuk urusan duniawi, maka jika mereka berbicara urusan Keyakinan atau Agama maka tidak pada porsinya dan tidak akan dipercaya karena itu adalah tugas Kasta Brahmana.

Kasta Waisya adalah kasta menengah yang berisi para Pedagang, Buruh dan Pengrajin. Golongan menengah ini hanya berurusan dalam hal yang bersifat menyediakan kebutuhan dan bukan pengambil keputusan ataupun penyebar sebuah paham keyakinan yang dipercaya.

Kasta Sudra adalah kasta terendah. Berisi para Petani, Buruh, Kuli dan Pekerja Kasar lainnya. Golongan ini adalah pekerja yang hanya melakukan perintah dari kasta Brahmana dan Ksatria.

 

ISLAM DI NUSANTARA

Penyebaran Islam di Nusantara setidaknya sudah dimulai sejak Abad ke-7 hingga Abad 8 melalui para Pedagang-Pedagang dari semenanjung Arab. Misi perdagangan yang bergandengan misi penyebaran Agama oleh para pedagang, tentu saja tidak mungkin berhasil. Karena di Nusantara telah mengakar sistem Kasta seperti yang disebutkan di atas.

Pedagang adalah Kasta Waisya, yang tidak mungkin dipercaya jika kemudian mereka menyampaikan soal Keyakinan atau Agama. Masyarakat Nusantara yang telah lama menganut Hindu dan berada dalam sistem Kasta sangat mengedepankan sistem golongan yang berlaku dalam masyarakat.

Melihat kondisi tersebut, maka penyebaran Islam di Nusantara sekitar Abad 7 hingga 8 tidak terlalu mendapatkan respon yang gemilang. Perlu strategi yang lebih persuasif terhadap sistem kasta yang berlaku di Nusantara.

Barulah kemudian setelah 7 Abad berlalu sekitar Abad 14, pola penyebaran Islam di Nusantara menampakkan keberhasilan yang pesat. Berawal dari seorang tokoh bernama Sayyid Muhammad As-Samarkand yang kemudian menurunkan Sayyid Ibrahim As-Samarkand atau lebih dikenal dengan nama Maulana Ibrahim Asmoroqondi, Islam dapat melenggang dengan pesat di Nusantara.

Beliau Maulana Ibrahim Asmoroqondi yang kemudian berkerabat dengan Raden Wijaya Raja Majapahit melalui pernikahan saudarinya, kemudian berhasil masuk ke Nusantara dengan otomatis ber-Kasta Brahmana. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan serius oleh beliau Maulana Ibrahim. Terlebih, setelah putra putri beliau kemudian menjalin hubungan pernikahan dengan keluarga-keluarga dalam lingkungan bangsawan Majapahit.

Islam berada di kalangan Kasta Brahmana saat itu. Era tersebut dikenal dengan Era Walisongo (wali sembilan) yang merupakan sekumpulan mubaligh yang sengaja dilembagakan secara turun temurun dan selalu berjumlah sembilan.

Pada fase awal Wali Songo, kita melihat kehadiran Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang merupakan putra Maulana Ibrahim dari seorang Putri Kerajaan Champa. Sunan Ampel yang otomatis ber-Kasta Brahmana ini merupakan ahli dalam bidang pendidikan. Beliau masuk ke Nusantara dengan memanfaatkan Kasta Brahmana nya dan kemudian mengadopsi kebiasaan masyarakat Hindu di Nusantara kala itu yang berkegiatan secara berkelompok dalam padepokan-padepokan atau sanggar-sanggar. Pola inilah yang mengawali adanya sistem pendidikan pesantren atau perguruan yang masih berlangsung hingga saat ini.

Di wilayah pesisir bagian barat Nusantara, hadir Sunan Gunung Jati. Beliau adalah keturunan Raja Siliwangi yang berarti ber-Kasta Brahmana. Sunan Gunung Jati adalah ulama yang juga ahli strategi perang. Beliau memanfaatkan Kasta Brahmana nya untuk menyebarkan Islam dengan mengkolaborasikan ilmu Agama dan keahlian yang dimiliki.

Selanjutnya dapat kita lihat betapa pesatnya penyebaran Islam di Nusantara di tangan para ulama yang lahir dari Kasta Brahmana di Nusantara. Akulturasi Budaya otomatis menjadi jalan panjang penyebaran Islam di fase awal Wali Songo. Terkadang dan memang pasti, bahwa ketidak cocokan Budaya dan Syariat Islam harus dengan bijak dihadapi. Penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dilakukan semata-mata dengan menerapkan Syariat Islam secara penuh. Perlu tahapan berjenjang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Budaya masyarakat terdahulu agar masyarakat merasa nyaman dengan kehadiran Islam meskipun yang menyampaikannya adalah seorang Brahmana.

Merubah Budaya yang terbalut keyakinan Agama terdahulu inilah yang kemudian menjadikan Islam membuktikan nilainya sebagai Agama yang ternyata bisa fleksibel berada di mana saja tanpa harus melepas kultur asli masyarakat di mana Islam akan di-syiarkan. Hingga sekarangpun, masih dapat kita saksikan bagaimana Islam berada dalam kultur masyarakat Nusantara yang telah ber-Abad lamanya berada dalam pengaruh Hindu dan Buddha sebagai keyakinan awal masyarakat Nusantara.

Budaya berkegiatan secara berkelompok dalam padepokan-padepokan yang kemudian dirubah menjadi tempat kegiatan belajar ilmu Agama Islam yang saat ini kita kenal dengan Pesantren, merupakan hasil Revolusi Kultur para Wali Songo. Begitu juga dengan Revolusi Kultur dalam bentuk rumah ibadah yang mana Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam di Nusantara tetap mengikuti model-model bangunan asli masyarakat setempat dan tidak harus berbentuk bangunan Masjid seperti di Arab. Revolusi Kultur dalam hal perayaan-perayaan hari besar pun dilakukan. Dalam peringatan hari-hari besar Islam, model-model perayaan yang menjadi Budaya Nusantara dimasukkan nilai-nilai Islam sehingga masyarakat Nusantara tidak merasa kehilangan identitasnya.

Begitulah kiranya Islam dapat tersebar luas di Nusantara melalui proses Revolusi Kultur melalui ulama-ulama pembawa risalah Islam yang merupakan keturunan para bangsawan ber-Kasta Brahmana. Saat ini, semestinya dapat kita jaga hasil perjuangan para ulama tersebut, untuk tetap menjadikan Nusantara ini ber-Islam dengan damai tanpa harus mencabut akar Budaya masyarakatnya yang telah lebih dulu dan lebih lama berlaku di Nusantara.

Islam kita tetaplah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, namun identitas kita tetaplah sebagai Masyarakat Nusantara. Dengan tetap ber-Islam dalam Identitas Nusantara, maka kita telah membuktikan bahwa Islam memang benar merupakan Agama yang “Rahmatan lil ‘Alamin”. Nusantara Identitas Kita, Islam Agama Kita. Kita adalah Islam Nusantara.

 


CITADEL OF SALADIN

CITADEL OF SALADIN

 

BENTENG SHOLAHUDIN AL-AYYUBI



Siapa yang menyangka bahwa seorang pemuda Kurdi, Iraq bertubuh kurus yang menjadi asisten pamannya yang seorang ksatria bertubuh tambun bermata satu itu kelak akan menjadi seorang panglima perang Muslim dan membangun Dinastinya sendiri.

Pemuda itu bernama Yusuf, atau lengkapnya adalah Yusuf Najmuddin Al-Ayyubi. Lahir di Benteng Tikrit, Iraq tahun 1138 M saat Ayahnya Najmuddin Ayyub menjadi Panglima Tentara Seljuk Turki di bawah kepemimpinan Imaduddin Zanki. Begitu pula pamannya yang bernama Asadudin Syirkuh bin Syadzi atau lebih dikenal dengan nama Syirkuh yang menjadi Panglima Tentara Zankiyah.

Masa remajanya dihabiskan bersama Ayah dan Pamannya dan terbiasa membantu mempersiapkan strategi perang serta persenjataan bagi kedua panglima tentara Zankiyah itu. Pengalaman melihat kebiasaan Ayahnya dan Pamannya itulah yang membentuk Yusuf najmudin yang kelak dijuluki Shalahudin atau Saladin bagi pasukan salib Kristen.

Beliau Yusuf Najmudin yang telah matang mendalami ilmu strategi perang dan persentaan serta politik, akhirnya memutuskan meninggalakn Iraq untuk menuntut ilmu Agama di Damasqus. Hingga pada tahun 1169 dia diangkat oleh Sultan Nuruddin Mahmud sebagai wazir (penasehat) kerajaan di Damasqus. Hingga wafatnya Sultan Nuruddin Mahmud pada tahun 1174, Shalahudin Al-Ayyubi diangkat menjadi Sultan untuk wilayah Mesir yang dikuasai Sultan Seljuk dari Dinasti Fathimiah. Meskipun telah diangkat menjadi Sultan Mesir yang menguasai seluruh Mesir dari Sultan Seljuk, namun beliau Shalahuddin Al-Ayyubi tidak serta merta mengusir keluarga Dinasti Fathimiah dari Mesir. Shalahuddin Al-Ayyubi inilah yang mengembalikan ajaran Islam Sunni kembali hidup di Mesir yang sebelumnya dikuasai pengaruh Syiah.

 

Saat pertama kali menerima amanah sebagai penguasa Mesir, yang pertama dilakukan beliau adalah membuat pertahanan kota. Pertahanan kota ini beliau bangun berupa tembok pembatas kota dan sebuah benteng di atas bukit Maqattam. Tembok kota dibangun antara Majra Al-‘Uyun melewati Fustath hingga ke Nil. Hingga sekarang masih bisa kita lihat sisa-sisa temboknya yang sebagian telah dihancurkan guna akses jalan menuju kota dan sebagian dibangun permukiman warga.

Pembangunan Benteng di atas bukit Maqattam, dimulai pada tahun 1176. Pembangunan berlangsung selama 40 tahun sampai dengan tahun 1216 meski Shalahuddin Al-Ayyubi tidak pernah melihat selesainya pembangunan benteng ini.

Salah satu keistimewaan benteng ini adalah pada teknologi pengairan benteng yang terbilang canggih untuk kondisi saat itu. Sumur Shalahudin atau disebut Bi’r Yusuf merupakan saluran air yang dialirkan dari bawah ke atas bukit Maqattam yang jaraknya kuranglebih 4 km menanjak. Hal inilah yang menjadi salah satu kecanggihan benteng Shalahudin di masa itu. Dapat mengalirkan air untuk kebutuhan orang-orang yang berada di atas benteng dengan menaikkan air dari bawah bukit melalui saluran air biasa tanpa menggunakan pompa.

Sepeninggal Sultan Shalahudin Al-Ayyubi, benteng ini dilanjutkan pembangunan dan penggunaannya oleh Sultan Al-Malik Al-Kamil yang menggantikan beliau sebagai penguasa Mesir. Makam Al-Malik Al-Kamil berada di sebelah Makam Imam Syafi’i.

Al-Malik Al-Kamil membuat sebuah Istana megah di dalam kawasan benteng ini. Selama kuranglebih 700 tahun, benteng ini menjadi kediaman penguasa Mesir.

Di dalam benteng ini setidaknya terdapat empat Masjid yang didirikan oleh tiap-tiap penguasa Mesir yang menempati benteng ini sebagai kediaman sekaligus benteng pertahanan. Mulai dari Masjid Al-Nasir Muhammad yang dibangun tahun 1318 oleh Dinasti mamluk, kemudian Masjid Sulaiman Pasha yang dibangun tahun 1528 pada masa Sulaiman Pasha menguasai Mesir, lalu Masjid Al-‘Azab yang dibangun dekat gerbang Al-‘Azab pada tahun 1696 oleh Amir Ahmad Katkhuda dan terakhir adalah Masjid Muhammad Ali Pasha yang dibangun paling besar dengan corak Ottoman Turki oleh Muhammad Ali Pasha tahun 1830.

Meskipun penyelasaian pembangunan benteng ini tidak dizamani oleh Sultan Shalahudin Al-Ayyubi sendiri, namun tempat ini tetap menggunakan namanya. Ini dikarenakan beliau Sultan Shalahudin Al-Ayyubi sangat dihargai dan dikagumi oleh semua kalangan baik tentara, rakyat maupun penguasa setelahnya. Sultan Shalahudin Al-Ayyubi sendiri tidak dimakamkan di dalam benteng ini. Beliau wafat di Damasqus, Suriah pada tahun 1193 dan dimakamkan di Komplek Masjid Umayyah di Kota Damasqus, Suriah.

 


WALI TANAH JAWA (Bagian-2)

WALI TANAH JAWA (Bagian-2)

 


SAYYID IBRAHIM ASMOROQONDI

Sayyid Ibrahim adalah putera dari Maulana Muhammad Jumadil Kubro bin Sayyid Zainal Husain bin Sayyid Zainal Kubro bin Sayyid Zainal ‘Alim bin Sayyid Zainal Abidin bin Sayyid Husain bin Fathimah binti Rasulullah SAW.

Beliau Sayyid Ibrahim memiliki dua orang saudara kandung, yakni Maulana Ishaq dan Sunan Aspadi

Telah disampaikan pada bagian sebelumnya bahwa dari Sayyid Ibrahim Asmoroqondi inilah yang nantinya akan banyak menurunkan para Wali di Tanah Jawa dan berkerabat dengan Raden Wijaya Raja Majapahit yang juga menurunkan banyak keturunan Wali di Tanah Jawa.

Hubungan kekerabatan Sayyid Ibrahim dan Raden Wijaya ini juga yang nantinya akan menjadi jalan bagi masuknya Islam di Tanah Jawa melalui jalur Kerajaan Majapahit hingga terbangunnya Kerajaan Islam Demak Bintoro dan Kerajaan-Kerajaan lainnya yang dipimpin oleh Raja Muslim.

RADEN RAHMAT BIN SAYYID IBRAHIM ASMOROQONDI

Pada bagian sebelumnya telah disampaikan, bahwa pernikahan Sayyid Ibrahim dan Dewi Condrowulan Putri Raja Champa menurunkan anak kedua bernama Raden Rahmat.

Raden Rahmat yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel (sunan ngampel) Putra Sayyid Ibrahim selanjutnya menikah dengan Dewi Condrowati Putri Aryateja yang berkuasa di Tuban. Dari pernikahan ini, Raden Rahmat dan Dewi Condrowati dikaruniakan lima orang anak. Yakni, Siti Syari’ah, Siti Mutmainnah, Siti Khafshoh, Raden Ibrahim dan Raden Qosim.

Selain menikah dengan Dewi Condrowati, Raden Rahmat juga menikahi Putri Ki Bangkuning (ki kembang kuning) bernama Dewi Karimah. Dari pernikahan dengan Dewi Karimah ini, Raden Rahmat dikaruniakan dua anak, yakni Dewi Murtasiyah dan Dewi Murtasimah.

MAULANA ISHAQ BIN MAULANA JUMADIL KUBRO

Maulana Ishaq bin Jumadil Kubro adalah saudara kandung Sayyid Ibrahim yang nantinya akan menurunkan keturunan-keturunan yang saling berhubungan dalam sejarah penyebaran Islam di Tanah Jawa.

Maulana Ishaq memiliki tiga orang anak yang nantinya akan menjadi tokoh-tokoh penyebar Islam di Tanah Jawa. Putera Maulana Ishaq tersebut adalah Sayyid Abdul Qodir yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati Cirebon, kemudian Dewi Saroh dan Raden Paku yang kemudian dikenal dengan julukan Sunan Giri.

Jadi, dapat dilihat dari silsilah tersebut bahwa Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri adalah saudara Sunan Ampel dari jalur persaudaraan kedua ayah mereka yakni Sayyid Ibrahim dan Maulana Ishaq.

Dari sini dapat dilihat bahwa proses penyebaran Islam di Tanah Jawa sudah mulai menyebar di berbagai titik di Tanah Jawa. Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Giri di Gresik.

HAJI ‘UTSMAN (SUNAN MANYURAN/MANYORAN) MANDALIKA

Mandalika adalah sebuah daerah di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Dari sinilah Islam menyebar ke daerah Nusa Tenggara hingga Bali.

Adalah beliau bernama Haji ‘Utsman bin Raja Pendhito bin Sayyid Ibrahim Asmoroqondi. Raja Pendhito adalah Putra pertama Sayyid Ibrahim dari istri Dewi Condrowulan Putri Raja Champa yang telah dicantumkan pada bagian sebelumnya.

Haji ‘Utsman atau lebih dikenal dengan julukan Sunan Manyuran Mandalika menikah dengan Siti Syari’ah binti Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan dikaruniakan seorang putera bernama Amir Hasan.

UTSMAN HAJI (SUNAN ‘UDUNG/NGUDUNG/ANDUNG)

Utsman Haji juga merupakan putera dari Raja Pendhito bin Sayyid Ibrahim Asmoroqondi yang berarti saudara Sunan Manyuran (Haji Utsman). Beliau lebih dekenal dengan julukan Sunan ‘Udung/Ngudung dan dikenal sebagai Imam Masjid Demak di masa pemerintahan Sultan Trenggono.

Sunan ‘Udung menikah dengan Dewi Sari puteri Tumenggung Wilatikta. Dari pernikahan ini Sunan ‘Udung dikaruniakan dua orang anak bernama Dewi Sujinah dan Amir Haji yang akan diceritakan pada bagian selanjutnya.

NYAI GEDE TONDO DAN KHOLIFAH HUSAIN (SUNAN KERTAYASA) MADURA

Nyai Gede Tondo adalah putri dari Raja Pendhito, yang berarti saudara dari Sunan Manyuran dan Sunan ‘Udung. Terlihat jelas bahwa anak keturunan Sayyid Ibrahim Asmoroqondi sangat dominan menurunkan keturunan-keturunan penyebar Islam di Tanah Jawa.

Nyai Gede Tondo bersuamikan seorang mubaligh asal Yaman bernama Kholifah Husain. Kholifah Husain adalah murid dari Sunan Ampel (Raden Rahmat).

Dari pernikahan Nyai Gede Tondo dan Kholifah Husain ini, menurunkan seorang putera bernama Kholifah Sughro.

SITI MUTHMAINNAH DAN SAYYID MUHSIN (SUNAN WILIS) CIREBON

Siti Muthmainnah adalah puteri Sunan Ampel, yang berarti saudara Siti Syari’ah istri Sunan Manyuran Mandalika.

Siti Muthmainnah menikah dengan seorang mubaligh asal Yaman yang juga murid Sunan Ampel (Raden Rahmat) bernama Sayyid Muhsin. Dari pernikahan ini, Siti Muthmainnah dan Sayyid Muhsin dikaruniakan seorang putera bernama Amir Hamzah.

SITI HAFSHOH DAN SAYYID AHMAD (SUNAN MALAKA)

Siti Hafshoh adalah puteri Sunan Ampel (Raden Rahmat), yang juga saudara Siti Syari’ah istri Sunan Manyuran dan Siti Muthmainnah istri Sunan Wilis.

Siti Hafshoh menikah dengan Sayyid Ahmad (Sunan Malaka) yang merupakan murid Sunan Ampel (Raden Rahmat). Sayyid Ahmad adalah mubaligh dari Yaman.

Dari pernikahan ini, Siti Hafshoh dan Sayyid Ahmad (Sunan Malaka) tidak dikaruniakan anak.

RADEN QOSIM (SUNAN DRAJAD) SEDAYU

Raden Qosim adalah putera Sunan Ampel (Raden Rahmat). Berarti saudara Siti Syari’ah, Siti Muthmainnah dan Siti Hahshoh dan berarti berkerabat keluarga dengan Sunan Manyuran Mandalika, Sunan Wilis Cirebon dan Sunan Malaka.

Sunan Drajad (Raden Qosim) menikah dengan Dewi Shofiyah puteri Sunan Cirebon. Dari pernikahan ini Raden Qosim dikaruniakan tiga anak, yakni Pangeran Terenggana, Pangeran Sandi dan Dewi Wuryan.

RADEN IBRAHIM (SUNAN BONANG) TUBAN

Raden Ibrahim adalah putera Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang merupakan saudara Raden Qosim (Sunan Drajad).

Beliau Raden Ibrahim (Sunan Bonang) menikahi Dewi Hiroh puteri Raden Jakandar (Sunan Bangkalan). Dari pernikahan ini, Raden Ibrahim (Sunan Bonang) dikaruniakan seorang puteri bernama Dewi Ruhil.


*disarikan dari Kitab Tarikh al-Auliya karya KH. Bisri Musthofa