SANTRI DAN PESANTREN (Sebuah Tinjauan sejarah)

SANTRI DAN PESANTREN (Sebuah Tinjauan sejarah)

  

santri pesantren indonesia

 

Dunia pendidikan di Indonesia berkembang pesat seiring perkembangan zaman, berjalan saling berdampingan dan berkompetisi bersama tren model-model pendidikan umum baik formal maupun informal yang ada di seluruh dunia. Kesemuanya terakomodir dengan cukup baik oleh negara melalui produk-produk hukum terkait pendidikan dan yang berhubungan dengannya. Akses pada dunia pendidikan semakin mudah, dan semakin dapat dijangkau oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia dari berbagai strata sosial.

Tidak banyak kesimpulan yang secara detail dapat memastikan kapan kiranya awal dimulainya model pendidikan terpadu di Indonesia yang dahulu disebut Nusantara. Lini masa panjang Nusantara hingga resmi menggunakan nama Indonesia, tentunya juga meninggalkan kisah-kisah perjalanan dunia pendidikan di dalamnya. Meski tidak banyak literatur-literatur kuno masa lampau yang menceritakan secara terperinci dan eksplisit mengenai perjalanan dunia pendidikan di Nusantara. Namun demikian, dari adanya peninggalan literatur masa lampau tersebut, menunjukkan bahwa pendahulu-pendahulu bangsa Indonesia [Nusantara] merupakan orang-orang yang terpelajar karena bisa membuat catatan-catatan yang menjadi peninggalan berharga bagi generasi masa kini.

Setidaknya, model pendidikan di Nusantara pada masa lampau terlihat mulai diinisiasi dan dijalankan oleh para pemuka agama yang menyampaikan pendidikan agama sesuai metode “dakwah”nya masing-masing. Kajian utamanya adalah nilai-nilai ke-agama-an masing-masing agama yang lebih spesifik pada tujuan re-generasi tokoh pendakwah.

Beberapa model pendidikan berbasis ke-Agama-an yang kemudian berkembang di Nusantara [Indonesia], antara lain dalam Islam kita kenal istilah Majelis Taklim yang merupakan kelompok-kelompok masyarakat di berbagai tempat yang mengkaji ilmu agama dan dipandu oleh seorang kyai/ulama. Kemudian Madrasah Takmiliyah atau Madrasah Diniyah, yang lebih terorganisir dan memiliki kurikulum pelajaran serta berjenjang. Dalam agama Kristen dikenal istilah Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja dan Katekisasi. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat istilah Pasraman dan Pesantian yang merupakan lembaga pendidikan informal sebagai upaya agar pengetahuan dalam agama Hindu-Buddha lebih intensif. Lebih spesifik dalam agama Buddha, dikenal istilah Pabbaja Samanera yang lebih spesifik pada upaya regenerasi Bikkhu/Biksu.

Model pendidikan Pesantren dalam dunia pendidikan [informal] Islam, merupakan salah satu bentuk dari hasil produk akulturasi budaya di Indonesia [Nusantara]. Akulturasi budaya tersebut tidak lepas dari budaya awal (budaya agama) yang telah lebih dulu ada di Nusantara sebelum masuknya Islam. Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin (memberi kebaikan pada semesta alam), tidak memaksakan model-model penyebaran agama melalui pendidikan dengan menggunakan model-model lembaga pendidikan di tempat kelahirannya (Arab).

Islam, mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh para saudagar-saudagar berkebangsaan Arab (meski bukan berasal dari Hijaz). Para saudagar yang datang ke Nusantara, sebagian besar juga menguasai ilmu agama Islam dan menjadi seorang mubaligh. Setidaknya, terdapat beberapa versi sejarah yang menyampaikan mengenai periode masuknya Islam ke Nusantara. Salah satunya, jika mengambil sejarah masuknya Islam ke Nusantara menurut teori Mekah[1], maka agama Islam telah hadir di Nusantara sejak abad ke-7 atau sekitar tahun 651 M, yang mana saat itu ke-Khalifah-an Islam dipegang oleh Amirul Mukminin Utsman ibn Affan. Beliau memerintahkan utusan ke tanah Jawa [Nusantara], tepatnya ke Kalingga yang saat ini bernama Jepara.

Fakta lainnya menghadirkan bahwa beberapa dekade sebelum tahun 651 M juga telah ditemukan situs-situs Islam di wilayah Sumatera bagian utara. Wilayah Sumatera Utara yang telah lama dikenal sebagai tempat berkembangnya Islam adalah Barus. Catatan-catatan bangsa Tiongkok pun menceritakan adanya beberapa koloni bangsa Arab yang sudah menetap dan berinteraksi di Barus sejak awal-awal tahun Hijriyah, yakni sekitar tahun 30 Hijriyah atau sekitar tahun 625 M.

Interaksi-interaksi dalam hal penyampaian nilai-nilai ke-agama-an yang dilakukan para Mubaligh yang sekaligus berperan sebagai pedagang tersebut dilakukan di berbagai tempat dengan membentuk kelompok-kelompok kecil. Dengan semakin seringnya mereka bertemu dan berinteraksi dalam berbagai hal khususnya urusan perdagangan dan urusan agama, memungkinkan adanya sebuah ikatan saling membutuhkan diantara mereka. Interaksi dalam konteks ke-ilmuan tersebut, yang  melibatkan sang Mubaligh sebagai guru dan anggota-anggota masyarakat dalam kelompok (kecil maupun besar) yang membutuhkan penjelasan mendalam tentang ilmu agama inilah kemudian melahirkan istilah Santri yang dalam masyarakat Jawa dahulu biasa disebut Cantrik.

Cantrik adalah seseorang yang menjadi pengikut atau seseorang yang mempelajari sesuatu dengan serius secara terus menerus. Kata Cantrik merupakan bahasa Sansekerta yang biasa digunakan masyarakat Jawa pada masa lampau. Kata inilah yang kemudian diadaptasi menjadi “Santri”, sesuai dengan pemaknaan dan kesamaan aktivitas yang dilakukan Santri-Pesantren yang menjadi pengikut seorang ulama dan mengambil ilmu darinya.

Sedangkan seseorang yang menjadi pengajar ilmu agama dengan kompetensi sesuai standar keilmuan Islam biasa dikenal dengan berbagai nama yang merujuk pada satu istilah yakni Kyai atau Ulama. Di Jawa dikenal dengan sebutan Kyai (kiai), di Nusa Tenggara dikenal dengan sebutan Tuan Guru, sementara di Minangkabau dikenal dengan nama Inyiak dan Buya atau Abuya, Ajengan di wilayah Jawa Barat dan AnreGurutta di Sulawesi Selatan, yang kesemuanya merupakan istilah yang menggambarkan sosok Ulama atau Syekh dalam bahasa Arab.

Pesantren (pe-Santri-an), dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat murid-murid (santri) mempelajari ilmu dan segala hal yang menyertainya. Pada perkembangannya, dengan semakin banyaknya santri yang hadir dan memilih untuk tetap bersama panutannya (kyai/ulama), maka dibangunlah kamar-kamar tempat menginap (asrama atau pondok). Tempat-tempat berupa kamar santri itulah yang kemudian memunculkan istilah yang hingga sekarang digunakan, yakni Pondok Pesantren atau Asrama Santri yang mengadaptasi istilah Pashraman (ashram) dalam pendidikan agama Hindu-Buddha.

Istilah Pesantren juga dimungkinkan mengadopsi kata Pesantian yang digunakan umat Hindu-Buddha, sebagai tempat pembelajaran intensif dalam hal ilmu agama. Kemudian Pasraman atau “ashram” yang merujuk pada tempat tinggal para murid, yang kemudian diartikan sebagai “asrama” atau “pondokan/pondok”.

Definisi lainnya yang menjelaskan arti Pesantrenadalah proses pe-nyantri-an yang memiliki dua arti ; yaitu tempat santri atau proses menjadi santri (Soebahar 2013).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, disebutkan beberapa istilah Pesantren yang dikenal di indonesia. Disebutkan dalam Undang-Undang tersebut istilah Dayah yang digunakan masyarakat Aceh Darussalam untuk menyebutkan tempat belajar mengajar seperti halnya Pesantren. Dayah diadaptasi dari bahasa Arab yakni Zawiyyah yang dalam beberapa bentuk penulisan transliterasi Arab-Melayu ditulis Dhawiyah atau dalam kebiasaan pengucapan lisan melayu terdengar menjadi bunyi Dayah.

Sejak zaman dahulu, sejak zaman Kerajaan Islam Aceh Darussalam dan sampai sekarang lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut Dinamakan dengan Dayah (Depag RI 1993). Selain Dayah, masyarakat Aceh Darussalam juga menyebut tempat untuk berkegiatan seperti Pesantren dengan nama Meunasah. Kata Meunasah ini lebih relevan dengan Madrasah karena diadaptasi dari kata yang sama. Meunasah tidak hanya sebagai tempat belajar agama, tapi juga digunakan untuk kegiatan perayaan hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi SAW, Isra’ Mi’raj dan Nuzulul Qur’an.

Masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat) menyebut Pesantren dengan nama Surau. Di Minangkabau, Surau adalah sebutan bagi sebuah tempat/bangunan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat dalam melakukan banyak hal seperti rapat, kegiatan agama dan pembelajaran serta kegiatan interaksi sosial lainnya. Sementara di Jawa, Surau adalah bilik/ruang kecil yang digunakan untuk kegiatan ibadah. Sama fungsinya seperti halnya Masjid namun berbeda ukuran. Surau atau Langgar di Jawa hanya digunakan oleh komunitas kecil keluarga atau lingkungan beberapa keluarga saja. Kesemuanya memiliki kesamaan fungsi, hanya berbeda nama menyebutkannya saja.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pesantren yang berangkat dari istilah-istilah seperti sanggar dan padepokan adalah ruang publik tertua yang sudah dikenal di Nusantara. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara memang sudah masyhur dalam sejarah pendidikan masyarakat kita. Setidaknya, mulai dari wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Nusa Tenggara dan Bali memiliki tempat-tempat beribadah dan mempelajari ilmu agama yang mengarah pada istilah Pesantren dengan nama yang berbeda di masing-masing daerah tersebut.

Bukti-bukti sejarah dan peninggalan-peninggalan keberadaan Pesantren di era awal penyebaran Islam di Nusantara khususnya di wilayah Jawa secara keseluruhan masih bisa ditemui hingga sekarang. Salah satu Pesantren tertua yang masih bisa ditemui peninggalan fisik dan kisahnya adalah Pesantren Tegalsari Ponorogo, yang didirikan pada paruh awal abad ke-17 oleh seorang Ulama bernama Kyai Muhammad Besari (kyai Muhammad Bashari).  Pesantren Tegalsari Ponorogo yang juga dikenal masyarakat umum dengan nama Pesantren Gebang Tinatar merupakan salah satu Pesantren penting di wilayah Jawa yang menjadi tujuan utama bagi para bangsawan (kasta ksatria) Mataram untuk menitipkan putra-putra mereka mempelajari ilmu agama Islam.

Diantara tokoh-tokoh Nusantara yang pernah mengenyam pendidikan dan menyandang gelar Santri serta menjadi “alumni” Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo tersebut yakni Pakubuwono II Raja Mataram ke-9, ada juga Raden Ngabehi Ronggowarsito sang pujangga besar Kasunanan Surakarta cucu dari pujangga utama Kasunanan Surakarta Yosodipuro, kemudian tercatat pula nama Pangeran Diponegoro sebagai santri di Pesantren Tegalsari, serta tokoh pergerakan nasional HOS Cokroaminoto yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional dan menjadi guru dari beberapa tokoh pergerakan kemerdekaan nasional termasuk proklamator kemerdekaan Indonesia bung Karno.


santri pesantren indonesia
Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari masa Ronggowarsito (Dok.Claude_Guillot)


Dengan demikian, Pesantren bisa dikatakan bukan saja sebagai pusat pendidikan agama Islam semata, tapi juga sebagai tempat pembelajaran karakter kebangsaan bagi santri-santri yang ada di dalamnya. Karakter asli Nusantara yang melahirkan santri-santri berjiwa nasionalis yang loyal pada bangsa dan negaranya.

Keberadaan Pesantren dengan sistem pembelajaran Madrasah terpadu (bukan sanggar/padepokan) di Nusantara (khususnya Jawa), tercatat sudah ada sejak abad ke-17 dan 18. Beberapa Pesantren tertua yang masih bisa ditemui hingga sekarang, antara lain ; Pesantren Sidogiri yang didirikan tahun 1718 atau versi lainnya menyebutkan tahun 1745, kemudian Pesantren Jamsaren yang didirikan tahun 1750, lalu Pesantren Buntet Cirebon yang didirikan pada tahun 1750 dan Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan yang didirikan tahun 1787.

Pesantren-pesantren yang berdiri pada abad ke-17 dan abad ke-18 tersebut, tentu saja telah mendidik banyak santri. Dari sekian Pesantren yang telah mendidik banyak santri itu, kemudian meluluskan santri-santri yang pulang ke daerahnya masing-masing dan mendirikan Pesantren sendiri di daerahnya. Memasuki abad ke-19, perkembangan Pesantren sangat pesat dan semakin berkualitas. Sebut saja kemudian kehadiran Pesantren Langitan Tuban tahun 1852, lalu disusul oleh salah seorang santri Pesantren Langitan bernama KH. Khalil (Cholil) asal Bangkalan, Madura yang mendirikan Pesantren di Wilayah Kademangan Bangkalan, Madura pada tahun 1861. Pesantren di daerah Kademangan ini kemudian dikenal dengan nama Pesantren Syaikhona Kholil. Salah satu santri KH. Khalil yang berasal dari Jombang yakni KH. Hasyim Asy’ari kemudian kembali ke Jombang dan mendirikan Pesantren di daerah Cukir, Jombang pada tahun 1889 yang terkenal dengan nama Pesantren Tebuireng.


santri pesantren indonesia

Salah satu bagian dari Pesantren Tebuireng pada masa awal berdiri (Dok. Perpustakaan PBNU)

 

Hingga saat ini, lembaga pendidikan Pesantren masih dipercaya sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang memiliki ciri khas dalam menjaga serta membentuk karakter asli daerah masing-masing dan karakter bangsa Indonesia. Karakteristik Santri yang merupakan bagian penting pendidikan Pesantren dapat dilihat dari sikap mencintai daerah asalnya. Terbukti dengan banyaknya Pesantren yang didirikan pada era abad ke-17 hingga abad ke-19, dengan tidak menggunakan nama Pesantrennya dalam bahasa atau istilah Arab namun menggunakan nama daerahnya masing-masing. Sebut saja beberapa Pesantren yang telah disebutkan sebelumnya seperti Pesantren Tegalsari Ponorogo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Kademangan Bangkalan, Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Buntet Cirebon dan banyak lagi Pesantren-Pesantren yang menggunakan nama daerahnya sebagai wujud khidmat pendirinya pada daerah tempat tinggalnya serta sebagai gambaran karakteristik pendirinya. Dari sisi penamaan Pesantren menggunakan nama daerah ini saja, dapat terlihat betapa Pesantren benar-benar merupakan sebuah lembaga yang memiliki karakteristik dan ciri khas asli Nusantara yang memiliki banyak keragaman. Rasa memiliki dan ingin membangun daerahnya melalui Pesantren dapat terlihat dari penamaan Pesantren tersebut.


 

Selengkapnya mengenai perjalanan panjang Pesantren dan Santri di tanah air, akan dibahas dalam buku “Santri-Pesantren Indonesia ; Siaga Jiwa Raga Menuju Indonesia Emas 2045” yang akan segera terbit.

santri pesantren indonesia


 

Muhammad Arief Albani | Desember 2021

 

 

Daftar Bacaan :

 

Amrullah, Abdul Malik Karim. Dari Perbendaharaan Lama : Menyingkap Sejarah Islam di Indonesia. Gema Insani Press, 2017.

Ayatrohaedi. Sundakala ; Cuplikan sejarah Sunda Berdasarkan Naskah Naskah Panitia Wangsakerta Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya, 2005.

—. Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945). Jakarta: Pustaka Compass, 2016.

Departemen Agama RI. "Ensiklopedia Islam." 240. Jakarta: Departemen Agama RI, 1993.

 



[1] Terdapat tiga teori mengenai masuknya Islam ke Nusantara. Pertama adalah Teoti Gujarat yang menyampaikan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui Gujarat, India. Didukung oleh penjelasan bahwa orang-orang Arab ber-Madzhab Syafi’i bermigrasi ke Malabar dan Gujarat, lalu ke Nusantara melalui Sumatera. Didukung pula oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya “L’Arabie et Les Indes Neelandaises”. Teori kedua adalah Teori Mekah yang dicetuskan oleh Hamka atas koreksi Teori Gujarat yang menyatakan Islam masuk Nusantara pada abad ke-13, sedangkan menurut Hamka, Islam masuk Nusantara pada abad ke-7. Ketiga adalah Teori Persia oleh Hoesein Djajadiningrat yang hampir sama dengan Teori Gujarat. Hanya saja berbeda asal pembawanya, yakni ulama-ulama dari Persia.

 

ISLAM DI NUSANTARA

ISLAM DI NUSANTARA

 


ISLAM DI NUSANTARA

PERJALANAN PANJANG REVOLUSI KULTURAL

 

Nusantara adalah sebuah nama yang digunakan untuk menyebutkan bentangan pulau-pulau yang membentang dari Sumatera hingga Papua, yang sebagian besar kumpulan pulau-pulau dalam bentangan itu menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini.

Istilah Nusantara setidaknya telah digunakan sejak masa Kerajaan Majapahit sebagaimana sering disebutkan dalam beberapa catatan kuno yang ditulis antara Abad 12 hingga Abad 16 untuk menggambarkan ketatanegaraan Majapahit.

Nama Nusantara hampir saja terlupakan dan hilang dalam budaya penyebutan wilayah-wilayah yang saat ini berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hingga akhirnya, mulai disebut-sebut kembali saat kepopuleran nama Hindia Belanda berangsur surut sejalan dengan Kemerdekaan Indonesia. Digunakannya kembali kata Nusantara pasca Kemerdekaan Indonesia bertujuan untuk menggantikan nama Hindia Belanda yang telah hilang kekuasaannya di Indonesia. Meskipun Negara ini menggunakan nama Indonesia, namun untuk menyebutkan rangkaian pulau-pulau yang ada di dalamnya, istilah Nusantara tetap digunakan.

 

AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI NUSANTARA

Sejak lama, Nusantara dikenal sebagai wilayah yang menganut sistem kenegaraan berbentuk Kerajaan. Paling tidak, dapat kita lihat nama-nama seperti Sriwijaya, Singhasari dan kemudian Majapahit yang sangat dikenal dunia. Wilayah kerajaan-kerajaan tersebut berada dalam rentang wilayah Kepulauan Nusantara.

Dalam sistem kenegaraan Kerajaan itu, Raja-Raja yang berkuasa pada awalnya memegang kepercayaan pada Dewa-Dewa Hindu. Keyakinan para Raja-Raja tersebut secara langsung mempengaruhi apa yang harus dianut masyarakat yang ada di dalam kekuasaannya. Selain kepercayaan pada Agama Hindu yang dianut para penguasa Nusantara saat itu, hadir pula pengaruh Agama Buddha yang masuk melalui hubungan antar Kerajaan dan hubungan kekeluargaan yang terjadi antar keluarga Kerajaan.

Penyebaran kepercayaan Agama Hindu dan Buddha di Nusantara kala itu dapat dengan cepat tersebar karena pengaruh sang Raja atau Penguasa wilayah. Sistem Kasta dalam Kerajaan dan juga dalam Agama Hindu merupakan faktor utama pesatnya penyebaran keyakinan tersebut. Kepercayaan Agama Hindu dalam bermasyarakat dibagi menjadi empat golongan utama. Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra merupakan pengelompokan masyarakat dalam Agama Hindu yang juga dianut dalam sistem Kerajaan Hindu di Nusantara. Sistem ini digunakan sebagai alat penyebaran keyakinan Agama yang efektif. Selain juga sebagai pembeda dalam beberapa hal yang berlangsung dalam keseharian masyarakat. Seperti perkawinan, pendidikan dan pekerjaan.

Kasta Brahmana merupakan golongan yang berisi para pemuka Agama, Pendeta dan Guru Spiritual. Kasta inilah yang dipercaya menyebarkan keyakinan Agama kepada masyarakat dan menjadi golongan yang paling dipercaya dalam hal Keyakinan atau Agama.

Kasta Ksatria merupakan golongan para Raja, Bangsawan dan Prajurit. Golongan ini menjadi yang dipercaya dalam hal mengurusi urusan ketatanegaraan dan urusan kemasyarakatan lainnya. Mereka hanya dipercaya untuk urusan duniawi, maka jika mereka berbicara urusan Keyakinan atau Agama maka tidak pada porsinya dan tidak akan dipercaya karena itu adalah tugas Kasta Brahmana.

Kasta Waisya adalah kasta menengah yang berisi para Pedagang, Buruh dan Pengrajin. Golongan menengah ini hanya berurusan dalam hal yang bersifat menyediakan kebutuhan dan bukan pengambil keputusan ataupun penyebar sebuah paham keyakinan yang dipercaya.

Kasta Sudra adalah kasta terendah. Berisi para Petani, Buruh, Kuli dan Pekerja Kasar lainnya. Golongan ini adalah pekerja yang hanya melakukan perintah dari kasta Brahmana dan Ksatria.

 

ISLAM DI NUSANTARA

Penyebaran Islam di Nusantara setidaknya sudah dimulai sejak Abad ke-7 hingga Abad 8 melalui para Pedagang-Pedagang dari semenanjung Arab. Misi perdagangan yang bergandengan misi penyebaran Agama oleh para pedagang, tentu saja tidak mungkin berhasil. Karena di Nusantara telah mengakar sistem Kasta seperti yang disebutkan di atas.

Pedagang adalah Kasta Waisya, yang tidak mungkin dipercaya jika kemudian mereka menyampaikan soal Keyakinan atau Agama. Masyarakat Nusantara yang telah lama menganut Hindu dan berada dalam sistem Kasta sangat mengedepankan sistem golongan yang berlaku dalam masyarakat.

Melihat kondisi tersebut, maka penyebaran Islam di Nusantara sekitar Abad 7 hingga 8 tidak terlalu mendapatkan respon yang gemilang. Perlu strategi yang lebih persuasif terhadap sistem kasta yang berlaku di Nusantara.

Barulah kemudian setelah 7 Abad berlalu sekitar Abad 14, pola penyebaran Islam di Nusantara menampakkan keberhasilan yang pesat. Berawal dari seorang tokoh bernama Sayyid Muhammad As-Samarkand yang kemudian menurunkan Sayyid Ibrahim As-Samarkand atau lebih dikenal dengan nama Maulana Ibrahim Asmoroqondi, Islam dapat melenggang dengan pesat di Nusantara.

Beliau Maulana Ibrahim Asmoroqondi yang kemudian berkerabat dengan Raden Wijaya Raja Majapahit melalui pernikahan saudarinya, kemudian berhasil masuk ke Nusantara dengan otomatis ber-Kasta Brahmana. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan serius oleh beliau Maulana Ibrahim. Terlebih, setelah putra putri beliau kemudian menjalin hubungan pernikahan dengan keluarga-keluarga dalam lingkungan bangsawan Majapahit.

Islam berada di kalangan Kasta Brahmana saat itu. Era tersebut dikenal dengan Era Walisongo (wali sembilan) yang merupakan sekumpulan mubaligh yang sengaja dilembagakan secara turun temurun dan selalu berjumlah sembilan.

Pada fase awal Wali Songo, kita melihat kehadiran Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang merupakan putra Maulana Ibrahim dari seorang Putri Kerajaan Champa. Sunan Ampel yang otomatis ber-Kasta Brahmana ini merupakan ahli dalam bidang pendidikan. Beliau masuk ke Nusantara dengan memanfaatkan Kasta Brahmana nya dan kemudian mengadopsi kebiasaan masyarakat Hindu di Nusantara kala itu yang berkegiatan secara berkelompok dalam padepokan-padepokan atau sanggar-sanggar. Pola inilah yang mengawali adanya sistem pendidikan pesantren atau perguruan yang masih berlangsung hingga saat ini.

Di wilayah pesisir bagian barat Nusantara, hadir Sunan Gunung Jati. Beliau adalah keturunan Raja Siliwangi yang berarti ber-Kasta Brahmana. Sunan Gunung Jati adalah ulama yang juga ahli strategi perang. Beliau memanfaatkan Kasta Brahmana nya untuk menyebarkan Islam dengan mengkolaborasikan ilmu Agama dan keahlian yang dimiliki.

Selanjutnya dapat kita lihat betapa pesatnya penyebaran Islam di Nusantara di tangan para ulama yang lahir dari Kasta Brahmana di Nusantara. Akulturasi Budaya otomatis menjadi jalan panjang penyebaran Islam di fase awal Wali Songo. Terkadang dan memang pasti, bahwa ketidak cocokan Budaya dan Syariat Islam harus dengan bijak dihadapi. Penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dilakukan semata-mata dengan menerapkan Syariat Islam secara penuh. Perlu tahapan berjenjang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Budaya masyarakat terdahulu agar masyarakat merasa nyaman dengan kehadiran Islam meskipun yang menyampaikannya adalah seorang Brahmana.

Merubah Budaya yang terbalut keyakinan Agama terdahulu inilah yang kemudian menjadikan Islam membuktikan nilainya sebagai Agama yang ternyata bisa fleksibel berada di mana saja tanpa harus melepas kultur asli masyarakat di mana Islam akan di-syiarkan. Hingga sekarangpun, masih dapat kita saksikan bagaimana Islam berada dalam kultur masyarakat Nusantara yang telah ber-Abad lamanya berada dalam pengaruh Hindu dan Buddha sebagai keyakinan awal masyarakat Nusantara.

Budaya berkegiatan secara berkelompok dalam padepokan-padepokan yang kemudian dirubah menjadi tempat kegiatan belajar ilmu Agama Islam yang saat ini kita kenal dengan Pesantren, merupakan hasil Revolusi Kultur para Wali Songo. Begitu juga dengan Revolusi Kultur dalam bentuk rumah ibadah yang mana Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam di Nusantara tetap mengikuti model-model bangunan asli masyarakat setempat dan tidak harus berbentuk bangunan Masjid seperti di Arab. Revolusi Kultur dalam hal perayaan-perayaan hari besar pun dilakukan. Dalam peringatan hari-hari besar Islam, model-model perayaan yang menjadi Budaya Nusantara dimasukkan nilai-nilai Islam sehingga masyarakat Nusantara tidak merasa kehilangan identitasnya.

Begitulah kiranya Islam dapat tersebar luas di Nusantara melalui proses Revolusi Kultur melalui ulama-ulama pembawa risalah Islam yang merupakan keturunan para bangsawan ber-Kasta Brahmana. Saat ini, semestinya dapat kita jaga hasil perjuangan para ulama tersebut, untuk tetap menjadikan Nusantara ini ber-Islam dengan damai tanpa harus mencabut akar Budaya masyarakatnya yang telah lebih dulu dan lebih lama berlaku di Nusantara.

Islam kita tetaplah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, namun identitas kita tetaplah sebagai Masyarakat Nusantara. Dengan tetap ber-Islam dalam Identitas Nusantara, maka kita telah membuktikan bahwa Islam memang benar merupakan Agama yang “Rahmatan lil ‘Alamin”. Nusantara Identitas Kita, Islam Agama Kita. Kita adalah Islam Nusantara.

 


WALI TANAH JAWA (Bagian-2)

WALI TANAH JAWA (Bagian-2)

 


SAYYID IBRAHIM ASMOROQONDI

Sayyid Ibrahim adalah putera dari Maulana Muhammad Jumadil Kubro bin Sayyid Zainal Husain bin Sayyid Zainal Kubro bin Sayyid Zainal ‘Alim bin Sayyid Zainal Abidin bin Sayyid Husain bin Fathimah binti Rasulullah SAW.

Beliau Sayyid Ibrahim memiliki dua orang saudara kandung, yakni Maulana Ishaq dan Sunan Aspadi

Telah disampaikan pada bagian sebelumnya bahwa dari Sayyid Ibrahim Asmoroqondi inilah yang nantinya akan banyak menurunkan para Wali di Tanah Jawa dan berkerabat dengan Raden Wijaya Raja Majapahit yang juga menurunkan banyak keturunan Wali di Tanah Jawa.

Hubungan kekerabatan Sayyid Ibrahim dan Raden Wijaya ini juga yang nantinya akan menjadi jalan bagi masuknya Islam di Tanah Jawa melalui jalur Kerajaan Majapahit hingga terbangunnya Kerajaan Islam Demak Bintoro dan Kerajaan-Kerajaan lainnya yang dipimpin oleh Raja Muslim.

RADEN RAHMAT BIN SAYYID IBRAHIM ASMOROQONDI

Pada bagian sebelumnya telah disampaikan, bahwa pernikahan Sayyid Ibrahim dan Dewi Condrowulan Putri Raja Champa menurunkan anak kedua bernama Raden Rahmat.

Raden Rahmat yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel (sunan ngampel) Putra Sayyid Ibrahim selanjutnya menikah dengan Dewi Condrowati Putri Aryateja yang berkuasa di Tuban. Dari pernikahan ini, Raden Rahmat dan Dewi Condrowati dikaruniakan lima orang anak. Yakni, Siti Syari’ah, Siti Mutmainnah, Siti Khafshoh, Raden Ibrahim dan Raden Qosim.

Selain menikah dengan Dewi Condrowati, Raden Rahmat juga menikahi Putri Ki Bangkuning (ki kembang kuning) bernama Dewi Karimah. Dari pernikahan dengan Dewi Karimah ini, Raden Rahmat dikaruniakan dua anak, yakni Dewi Murtasiyah dan Dewi Murtasimah.

MAULANA ISHAQ BIN MAULANA JUMADIL KUBRO

Maulana Ishaq bin Jumadil Kubro adalah saudara kandung Sayyid Ibrahim yang nantinya akan menurunkan keturunan-keturunan yang saling berhubungan dalam sejarah penyebaran Islam di Tanah Jawa.

Maulana Ishaq memiliki tiga orang anak yang nantinya akan menjadi tokoh-tokoh penyebar Islam di Tanah Jawa. Putera Maulana Ishaq tersebut adalah Sayyid Abdul Qodir yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati Cirebon, kemudian Dewi Saroh dan Raden Paku yang kemudian dikenal dengan julukan Sunan Giri.

Jadi, dapat dilihat dari silsilah tersebut bahwa Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri adalah saudara Sunan Ampel dari jalur persaudaraan kedua ayah mereka yakni Sayyid Ibrahim dan Maulana Ishaq.

Dari sini dapat dilihat bahwa proses penyebaran Islam di Tanah Jawa sudah mulai menyebar di berbagai titik di Tanah Jawa. Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Giri di Gresik.

HAJI ‘UTSMAN (SUNAN MANYURAN/MANYORAN) MANDALIKA

Mandalika adalah sebuah daerah di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Dari sinilah Islam menyebar ke daerah Nusa Tenggara hingga Bali.

Adalah beliau bernama Haji ‘Utsman bin Raja Pendhito bin Sayyid Ibrahim Asmoroqondi. Raja Pendhito adalah Putra pertama Sayyid Ibrahim dari istri Dewi Condrowulan Putri Raja Champa yang telah dicantumkan pada bagian sebelumnya.

Haji ‘Utsman atau lebih dikenal dengan julukan Sunan Manyuran Mandalika menikah dengan Siti Syari’ah binti Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan dikaruniakan seorang putera bernama Amir Hasan.

UTSMAN HAJI (SUNAN ‘UDUNG/NGUDUNG/ANDUNG)

Utsman Haji juga merupakan putera dari Raja Pendhito bin Sayyid Ibrahim Asmoroqondi yang berarti saudara Sunan Manyuran (Haji Utsman). Beliau lebih dekenal dengan julukan Sunan ‘Udung/Ngudung dan dikenal sebagai Imam Masjid Demak di masa pemerintahan Sultan Trenggono.

Sunan ‘Udung menikah dengan Dewi Sari puteri Tumenggung Wilatikta. Dari pernikahan ini Sunan ‘Udung dikaruniakan dua orang anak bernama Dewi Sujinah dan Amir Haji yang akan diceritakan pada bagian selanjutnya.

NYAI GEDE TONDO DAN KHOLIFAH HUSAIN (SUNAN KERTAYASA) MADURA

Nyai Gede Tondo adalah putri dari Raja Pendhito, yang berarti saudara dari Sunan Manyuran dan Sunan ‘Udung. Terlihat jelas bahwa anak keturunan Sayyid Ibrahim Asmoroqondi sangat dominan menurunkan keturunan-keturunan penyebar Islam di Tanah Jawa.

Nyai Gede Tondo bersuamikan seorang mubaligh asal Yaman bernama Kholifah Husain. Kholifah Husain adalah murid dari Sunan Ampel (Raden Rahmat).

Dari pernikahan Nyai Gede Tondo dan Kholifah Husain ini, menurunkan seorang putera bernama Kholifah Sughro.

SITI MUTHMAINNAH DAN SAYYID MUHSIN (SUNAN WILIS) CIREBON

Siti Muthmainnah adalah puteri Sunan Ampel, yang berarti saudara Siti Syari’ah istri Sunan Manyuran Mandalika.

Siti Muthmainnah menikah dengan seorang mubaligh asal Yaman yang juga murid Sunan Ampel (Raden Rahmat) bernama Sayyid Muhsin. Dari pernikahan ini, Siti Muthmainnah dan Sayyid Muhsin dikaruniakan seorang putera bernama Amir Hamzah.

SITI HAFSHOH DAN SAYYID AHMAD (SUNAN MALAKA)

Siti Hafshoh adalah puteri Sunan Ampel (Raden Rahmat), yang juga saudara Siti Syari’ah istri Sunan Manyuran dan Siti Muthmainnah istri Sunan Wilis.

Siti Hafshoh menikah dengan Sayyid Ahmad (Sunan Malaka) yang merupakan murid Sunan Ampel (Raden Rahmat). Sayyid Ahmad adalah mubaligh dari Yaman.

Dari pernikahan ini, Siti Hafshoh dan Sayyid Ahmad (Sunan Malaka) tidak dikaruniakan anak.

RADEN QOSIM (SUNAN DRAJAD) SEDAYU

Raden Qosim adalah putera Sunan Ampel (Raden Rahmat). Berarti saudara Siti Syari’ah, Siti Muthmainnah dan Siti Hahshoh dan berarti berkerabat keluarga dengan Sunan Manyuran Mandalika, Sunan Wilis Cirebon dan Sunan Malaka.

Sunan Drajad (Raden Qosim) menikah dengan Dewi Shofiyah puteri Sunan Cirebon. Dari pernikahan ini Raden Qosim dikaruniakan tiga anak, yakni Pangeran Terenggana, Pangeran Sandi dan Dewi Wuryan.

RADEN IBRAHIM (SUNAN BONANG) TUBAN

Raden Ibrahim adalah putera Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang merupakan saudara Raden Qosim (Sunan Drajad).

Beliau Raden Ibrahim (Sunan Bonang) menikahi Dewi Hiroh puteri Raden Jakandar (Sunan Bangkalan). Dari pernikahan ini, Raden Ibrahim (Sunan Bonang) dikaruniakan seorang puteri bernama Dewi Ruhil.


*disarikan dari Kitab Tarikh al-Auliya karya KH. Bisri Musthofa

 


WALI TANAH JAWA (Bagian-1)

WALI TANAH JAWA (Bagian-1)

 



Penyebaran Risalah Islam yang disampaikan Rasulullah SAW kepada umat manusia telah menyebar luas hingga sebagian besar belahan dunia. Salah satunya adalah Indonesia, khususnya di Tanah Jawa.

 

Pada kesempatan ini, akan secara ringkas disampaikan runtutan sejarah tersebarnya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh para tokoh Agama Islam yang di Tanah Jawa dikenal dengan sebutan Sunan atau Wali yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo beserta generasi Wali Songo setelahnya.

 

Bagian Pertama ini, akan diawali dari Champa yang saat ini dikenal dengan nama Vietnam.

Pada sekitar tahun 1300 an, dimana saat itu yang menjadi penguasa Kerajaan Champa adalah Raja Kunthoro. Raja tersebut bukanlah Raja Muslim namun akhirnya nanti akan menurunkan beberapa keturunan yang berpengaruh pada perkembangan penyebaran Islam di Nusantara.

Raja Kunthoro memiliki tiga orang anak, yakni : Darawati Murdaningrum, Dewi Condrowulan dan Raden Jongkara (jengkara).

Masuknya pengaruh Islam di Kerajaan Champa, dimulai saat datangnya seorang mubaligh bernama Sayyid Ibrahim as-Samarkand atau dikenal sebagai Maulana Ibrahim Asmarakandi (jawa : asmoroqondi). Tujuan kedatangan beliau ke Champa adalah dakwah untuk mengajak masyarakat Champa mengenal Islam.

Dengan kepiawaian beliau berdakwah dan atas izin Allah SWT, niat beliau berjalan lancar bahkan sang Raja pun ikut memeluk Islam serta mengizinkan beliau menyebarkan Islam di Tanah Champa.

Bahkan beliau Sayyid Ibrahim Asmarakandi dinikahkan dengan putri kedua Raja Kunthoro yakni Dewi Condrowulan.

Sebagai pembuka babak kisah selanjutnya, perlu disampaikan bahwa putri Raja Kunthoro yang bernama Darawati Murdaningrum menikah dengan Kertawijaya (Raden Wijaya) Raja Majapahit. Sehingga status Sayyid Ibrahim dan Raden Wijaya akhirnya menjadi kerabat keluarga Majapahit. Dari hubungan inilah yang nantinya akan memudahkan penyebaran Islam di Tanah Jawa.

 

Dari Putri Raja Champa ini, Sayyid Ibrahim memiliki tiga orang anak. Anak pertama bernama Raja Pandhito, anak kedua bernama Raden Rahmat dan yang ketiga bernama Siti Zaenab.

Berbeda dengan Raden Wijaya yang memiliki banyak anak dari beberapa istri. Namun disini akan disampaikan beberapa anak Raden Wijaya yang nantinya akan sering diceritakan pada bagian-bagian selanjutnya. Diantara anak Raden Wijaya yang akan diceritakan adalah Raden Arya Damar yang merupakan Adipati di Daerah Palembang dan merupakan Ayah Tiri Raden Fattah (raden patah) yang akan diceritakan pada bagian selanjutnya.

Dari Puteri Darawati Murdaningrum, Raden Wijaya memiliki tiga anak, yakni Puteri Hadi yang selanjutnya menjadi istri Adipati Dayaningrat yang berkuasa di Pengging (Boyolali), kemudian anak kedua bernama Lembu Peteng yang berkuasa di Sumenep Madura dan anak ketiga bernama Raden Gugur atau dikenal sebagai Sunan Lawu.

Raden Wijaya juga memiliki istri dari Ponorogo dan memiliki dua anak, yakni Bathara Kathong pendiri Kabupaten Ponorogo. Serta Adipati Luwanu/Lowanu Purworejo.

Sedangkan dari Istri Bagelen, Raden Wijaya memiliki putra bernama Jaran Panoleh yang nantinya berkuasa di Sampang, Madura.

Putera terakhir dari Putri Champa adalah Raden Fattah yang nantinya akan mendirikan Kerajaan Islam pertama di Bintoro Demak.


*disarikan dari Kitab Tarikh al-Auliya karya KH. Bisri Musthofa

 

 


MUKTAMAR NU DARI MASA KE MASA (1926-2021)

MUKTAMAR NU DARI MASA KE MASA (1926-2021)

 


MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA

DARI MASA KE MASA

 

 

1.            Muktamar NU ke-1 (Surabaya, 1926)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)[1]

§  H. Hasan Gipo (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan pada tanggal 21 Oktober 1926

 

Agenda :

1.      Hukum Bermazhab

2.      Pendapat Tokoh (Imam) yang Boleh Difatwakan

3.      Memberi Keputusan dengan Pendapat Kedua

4.      Shalat Sunat Sebelum Shalat Jum’at

5.      Zakat untuk Pembangunan Mesjid

6.      Gono-gini (Hasil Usaha Suami-istri)

7.      Pengertian“Rusydan”

8.      Orang Fasik Menjadi Wali Nikah

9.      Pemandu Khotbah Membaca Shalawat dengan Suara Keras dan Panjang

10.  Menterjemahkan Khotbah Jum’at Selain Rukunnya

11.  Membaca Shalawat atau Taradhdhi dengan Suara Keras

12.  Mengucapkan Insya Allah Ketika Khotib Mengucapkan Ittaqullah

13.  Memperbaharui Nisan dalam Kuburan Umum

14.  Memagari Kuburan dengan Tembok dalam Tanah Milik Sendiri

15.  Menghias Kuburan dengan Sutera

16.  Menggambar Binatang dengan Berbentuk Jisim yang Sempurna

17.  Pemberian Kepada Anak dengan Tidak Sepengetahuan Anak yang Lain

18.  Keluarga Mayit Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah

19.  Sedekah Kepada Mayit

20.  Istri Menjadi Pelayan di Rumah Suaminya dengan Tidak Pakai Upah

21.  Alat-alat Orkes untuk Hiburan

22.  Alat-alat yang Dibunyikan dengan Tangan

23.  Permainan untuk Melatih Otak Seperti Catur

24.  Gerak Badan Seperti Angkat Besi

25.  Pengertian “Lahwi” dan “Laghwi”

26.  Tari-tarian dengan Lenggak-lenggok

27.  Mengkhitankan Anak Setelah Beberapa Hari dari Hari Kelahirannya

 

2.            Muktamar NU ke-2 (Surabaya, 1927)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  H. Hasan Gipo (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 9 Oktober 1927

 

Agenda :

1.    Menerima Gadai dengan Mengambil Manfaatnya

2.    Jual Beli “Sende”

3.    Membeli Barang yang Belum Diketahui Sebelum Akad

4.    Membeli Barang Seharga Rp. 0. 50,-, dengan Menyerahkan Uang Seratus Rupiah

5.    Jual Beli Mercon untuk Berhariraya

6.    Memakai Dasi, Celana Panjang, Sepatu, Topi

7.    Memakai Pen dari Emas

8.    Memungut Derma Lalu Mengambil Sebagian untuk Dirinya Sendiri

9.    Menghukum dengan Pekerjaan Berat atau dengan Denda Uang

 

3.            Muktamar NU ke-3 (Surabaya, 1928)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  H. Hasan Gipo (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 28 september 1928

 

Agenda :

1.        Ta’liq Talaq Setelah Akad Nikah

2.        Khulu’ yang Diperintahkan Oleh Hakim

3.        Hakim Mengawinkan Anak Perempuan dengan Wali Hakim Tanpa Ada Bukti

4.        Hakim Mengawinkannya dengan Dua Saksi

5.        Perempuan Dikawinkan oleh Wali Hakim, Sedang Walinya Mengawinkannya dengan Lelaki Lain

6.        Lelaki Merujuk Istrinya Sebelum Selesai Iddahnya Tanpa Memberitahu, Lalu Istri Sesudah Selesai Iddahnya Kawin dengan Lelaki Lain

7.        Bayi Meninggal Sebelum Dipotong Ari-arinya

8.        Air Mandi Tidak Sampai Ke Pantat Mayit

9.        Harut dan Marut Termasuk Malaikat

10.    Nabi Isa Akan Turun Kembali Ke Dunia Sebagai Nabi dan Rasul

11.    Mengarak Puncak Kubah (Mustaka)

12.    Membeli Dinar Emas dengan Harga Rupiah/Uang Kertas

13.    Lelaki Beristri Mengaku Tidak Beristri, Supaya Lamarannya Diterima

14.    Thariqah Tijaniyah Beserta Baiat Barzakhiyah

15.    Pembelian Secara Rembus/Inden

16.    Menjual Sebagian dari Zakat yang Sudah Disahkan

17.    Shalat Jum’at Sebagai Pengganti Shalat Zhuhur bagi Wanita

18.    Pemilik Bibit (Bukan Pemilik Tanah) yang Diwajibkan Mengeluarkan Zakat

19.    Ayah Nabi Ibrahim a.s. Termasuk Ahli Neraka?

20.    Membangun Bangunan di Atas Tanah Kuburan yang Diwakafkan Oleh Wali

21.    Pinjam Sepotong Kain, Lalu Dikembalikan dengan Uang

22.    Mempercayai Hari Naas

 

4.            Muktamar NU ke-4 (Semarang, 1929)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 19 September 1929

 

Agenda :

1.        Boleh Mengubur Mayit dalam Peti Dari Pada Menguburnya di dalam Kuburan yang Mengeluarkan Air

2.        Maksud “Lupa” di dalam Hapalan al-Qur’an

3.        Mengeluarkan Zakat Penghasilan Tanah dengan Uang

4.        Uang Logam Lebih dari Nishab, Wajibkah Dikeluarkan Zakatnya

5.        Mengeluarkan Zakat Perdagangan Beserta Penghasilan Tanahnya

6.        Padi Ketan Termasuk Hasil Bumi yang Wajib Dizakati

7.        Uang Kertas Dipergunakan untuk Zakatnya Uang Kertas

8.        Menyerahkan Kurbannya Kepada Orang Lain, Lalu Oleh Orang Lain Itu Diwakilkan Kepada Orang Lain Lagi untuk Dipotong

9.        Mewakilkan Kepada Orang Fasik untuk Menyembelih Kurban

10.    Penukaran Uang Ringgit Perak dengan Sepuluh Uang Talenan (dari Perak)

11.    Penerima Gadai Mengambil Manfaat Setelah Akad Gadai Selesai

12.    Mendirikan Jum’at Kurang dari 40 Orang

13.    Berpuasa Menurut Mazhab Selain Mazhab Syafi’i

14.    Uang Wakaf untuk Pembangunan Mesjid Digunakan untuk Membiayai Pekerjaan Bangunan

15.    Memungut Derma untuk Mendirikan Mesjid yang Akan Dibangun

16.    Memungut Uang dan Bayaran Sekolah

17.    Lelaki Memakai Suasa (Emas Campuran)

18.    Beramal dengan Maksud Riya Lalu Bertobat

19.    Disuruh Membeli Sesuatu, Lalu Dibelikan Barang Lain

20.    Pakaian di Tangan Penjahit Sampai Lama Sebab Pemiliknya Pergi

21.    Barang Ditarik Kembali Sebab Cicilannya Belum Lunas

22.    Menambah Harga Barang dari Ketentuan

23.    Menggarap Sawah dengan Syarat Membersihkan Padi dan Menjemurnya

24.    Menyewa Tanah yang di dalamnya Ada Pohon yang Bertumbuh

25.    Menggarapkan Tanah Orang Islam Kepada Orang Kafir

26.    Membeli Buah-buahan di atas Pohon dalam Waktu yang Ditentukan

 

5.            Muktamar NU ke-5 (Pekalongan, 1930)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 7 September 1930

 

Agenda :

1.        Uang Hasil Sewa Kursi untuk Pertunjukan yang Tidak Dilarang oleh Agama

2.        Wali Mujbir Mengawinkan Anak Gadisnya yang Sudah Dewasa dengan Pemuda yang Sekufu

3.        Maksud Hadis “Anak Zina Tidak Masuk Surga.”

4.        Sembelihan Orang yang Mengaku Muslim, Tetapi Tidak Mengerti Ajaran Islam

5.        Macam-macam Kafir

6.        Membeli Emas dengan Uang Kertas

7.        Memakai Sandal yang Diketemukan di Mesjid

8.        Minuman yang Disangka Memabukkan Seperti Bir Cap Kunci

9.        Mengqadha Shalat Wajib

10.    Membeli Rumah dengan Catatan Supaya Diselesaikan Sesuai dengan Gambar

11.    Mengawinkan Janda yang Belum Dewasa Oleh Wali Hakim

12.    Suami Pergi Sampai 4 Tahun.

13.    Anak yang Lahir Sesudah Ibunya Ditalaq

14.    Seorang Janda yang Hamil Sebelum Selesai Iddahnya, Sedang Ia Tidak Kawin Lagi, Maka Kandungannya Diikutkan Suaminya

15.    Air yang Keluar Sebelum Melahirkan

16.    Perayaan untuk Memperingati Jin Penjaga Desa/Sedekah Bumi

17.    Dalil Bersedekah pada Hari Tertentu, yang Bersumber dari KitabMathali’ al-Daqaiq

18.    Melempar Kendi yang Penuh Air pada Upacara Ketujuh dari Umur Kandungan (Tingkeban)

19.    Berdiri Ketika Memperingati Maulud Nabi

20.    Mengubah Bacaan (Selain al-Qur’an dan Hadis) dari Ketentuannya

21.    Mengarak Tulisan Muhammad Setiap 12 Rabiul Awwal

22.    Asma Muazhzhamah yang Hurufnya Terpisah-pisah

23.    Perselisihan Seorang Gadis dengan Wali Mujbirnya dalam Menunjuk Pemuda yang Mengawininya

 

6.            Muktamar NU ke-6 (Cirebon, 1931)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 27 Agustus 1931

 

Agenda :

1.         Shalat Hadiah Oleh Keluarga Mayit

2.         Mencabut Gigi Mayit yang Memakai Emas

3.         Cara Penyelenggaraan Mayit dari Salah Satu Anak Kembar yang Melekat

4.         Menyuntik Mayit untuk Mengetahui Penyakit yang Menjalar

5.         Sebab-sebab Mayit Dianggap Keturunan Nabi Ibrahim

6.         Makan di Mesjid yang Lazimnya Membikin Kotoran

7.         Berdoa untuk Memohon Sesuatu yang Tidak Mungkin Tercapai

8.         Tidak Mengetahui Syarat Rukunnya Wudhu, Memasuki Thariqah

9.         Menekuni Membaca al-Qur’an dan Lain-lain Termasuk Thariqah Mu’tabarah

10.     Thariqah yang Mempunyai Sanad Muttashil Kepada Nabi Saw. Itu Tidak Ada Perbedaannya Satu Sama Lain

11.     Masyaqah yang Membolehkan Mengadakan Shalat Jum’at di Beberapa Tempat

 

7.            Muktamar NU ke-7 (Bandung, 1932)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 9 Agustus 1932

 

Agenda :

1.        Menjual Barang dengan Dua Harga: Kontan dan Kredit dengan Akad Sendiri-sendiri

2.        Memakai Pakaian Santiu bagi Lelaki

3.        Menjual Bayaran yang Belum Diterima

4.        Adzan Jum’at Dilaksanakan dengan Orang Banyak

5.        Menanam Ari-ari dengan Menyalakan Lilin

6.        Binatang Biawak (Seliro) Itu Bukan Binatang Dhab

7.        Muwakkil Memberikan Uang Rp. 10,- Kepada Wakil untuk Membeli Ikan. Sesudah Ikan Diterima, Wakil Disuruh Membeli  ikan itu dengan harga 11,- dalam Waktu Satu Hari

8.        Dalam Akad Nikah Tidak Ada Syarat Mendahulukan Pihak Laki-laki atau Perempuan

9.        Menjual Kulit Binatang yang Tidak Halal Dimakan

10.    Tidak Mengetahui Ilmu Musthalah Hadits mengajar Hadis

11.    Lelaki Lain Melihat Wajah dan Telapak Tangan Wanita

 

8.            Muktamar NU ke-8 (Jakarta, 1933)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 7 Mei 1933

 

Agenda :

1.         Yang wajib Dipelajari Pertama Kali Oleh Seorang Mukallaf

2.         Memberikan Zakat Kepada Salah Seorang Anggota Koperasi

3.         Menyentuh Imam Oleh Orang yang Akan Bermakmum

4.         Wanita Mendatangi Kegiatan Keagamaan

5.         Mengubah Nama Seperti Kebiasaan Jamaah Haji

6.         Keluarnya Wanita dengan Wajah Terbuka dan Kedua Tangannya dan Bahkan Kedua Kakinya

7.         Menyewakan Rumahnya Kepada Orang Majusi, Lalu Si Majusi Menaruh dan Menyembah Berhala di Rumah Itu

8.         Zakat Ikan dalam Tambak

9.         Pengertian Aman dari Siksa Kubur

10.     Musafir Sebelum Sampai Tempat yang Dituju, Menjalani Shalat Jama’ Qashar

11.     Kewajiban Zakat bagi Orang yang Memiliki Uang Simpanan Sampai Senishab

12.     Merawat Jenazah yang Tidak Pernah Shalat dan Puasa

13.     Mendirikan Mesjid di Luar Batas Desanya

14.     Mendirikan Jum’at di dalam Penjara

15.     Membaca Allah dalam  Shalawat Masyisyiyah

 

9.            Muktamar NU ke-9 (Banyuwangi, 1934)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 23 April 1934

 

Agenda :

1.        Meminum Minyak Al-Qur’an

2.        Menyewa Tambak untuk Mengambil Ikannya

3.        Menyewa Tambak Milik Pemerintah

4.        Masa Hancurnya Jasad Mayit

5.        Masih Ditemukan Tulang Mayat yang Lama, Setelah Kubur Digali

6.        Shalat yang Menghadap Lurus ke Barat Benar (Tidak Membelok ke Arah Kiblat)

7.        Mendirikan Mesjid di Wilayah Islam

8.        Mengangkut Mayit dengan Kendaraan yang Ditarik Kuda atau Manusia

9.        Menelaah Kitab-kitab Karangan Orang Kafir

10.    Menyewa Perahu dengan Seperenam Pendapatan

11.    Mengamalkan Pendapat yang Bertentangan dengan Pendapat Mazhab Empat

12.    Orang Islam yang Menjadi Kristen Sampai Matinya

 

10.       Muktamar NU ke-10 (Surakarta, 1935)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 14 April 1935

 

Agenda :

1.        Puasa Sunat dengan Niat Qadha Ramadhan

2.        Membayar Fidyah Sebab Meninggalkan Kewajiban

3.        Ucapan Seseorang Bahwa: Puasa Itu Hanya untuk Orang yang Tidak Mempunyai Makanan

4.        Hukum Tonel dan Pelakunya

5.        Munculnya Perempuan untuk Pidato Keagamaan

6.        Mendengarkan Suara Radio dan Menyimpannya

7.        Lupa Kalau Sedang Junub, Langsung Shalat

8.        Si Junub yang Shalat Karena Lupa Itu, Menjadi Imam

9.        Pengertian “Permusuhan Lahir Batin” antara Suami Istri

10.    Pengertian Sekufu yang Menjadi Syarat Sahnya Nikah Paksa

11.    Pengertian Mampu Membayar Maskawin dengan Tunai

12.    Dalam Akad Nikah Dinyatakan “Kukawinkan Padamu Perempuan Pinanganmu”. Padahal Lelaki Tidak Pernah Meminangnya

13.    Mushalla yang Diwakafkan Tidak Bisa Menjadi Mesjid, Kalau Tidak Diniatkan

14.    Kawin yang Dipaksa, Sebab Berbuat Zina

15.    Ongkos Sewa untuk Pasar Malam, Dipergunakan untuk Biaya Asrama Yatim Piatu

16.    Orang Shalat di Dekat Ka’bah, Harus Benar-benar Menghadap Ka’bah

17.    Pindah dari Thariqah ke Thariqah Lain

18.    Nikah Secara Tahlil dengan Sengaja Akan Dicerai Sesudah Bersetubuh

19.    Menyerahkan Zakat kepada Salah Seorang Pezakat

20.    Memindahkan Zakat ke Dalam Batas Kota

21.    Melihat Barang yang Dijual dengan Memakai Kacamata

22.    Bersentuhan Kulit Laki-laki dengan Kulit Perempuan Lain Tanpa Beraling-aling

23.    Qadha Shalat dan Puasa Oleh Orang Lain yang Masih Ada Hubungan Famili atau Diizini Famili Mayat

24.    Shalat Tarawih Bermakmum Kepada Imam yang Fasik

25.    Hasil Barang Gadaian Dipakai Beramal Saleh

 

11.       Muktamar NU ke-11 (Banjarmasin, 1936)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 9 Juni 1936

 

Agenda :

1.        Lelaki Memulai Salam Kepada Perempuan

2.        Orang yang Telinganya Bersuara Nging

3.        Perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadis Qudsi

4.        Shalat Ghaib untuk Mayit yang Berada dalam Negerinya

5.        Organisasi yang Melarang Meminjamkan Hak Miliknya Kecuali pada Anggotanya

6.        Doa dari Nabi dengan Sighat Jama’ Diubah Mufrad

7.        Kentongan dan Bedug yang Dipukul untuk Memberitahukan Waktu Shalat

8.        Menyerahkan Kurban Tanpa Wakil

9.        Memberi Ongkos Pengetam Hasil Pengetaman

10.    Berhukum Langsung dengan al-Qur’an dan Hadis Tanpa Memperhatikan Kitab Fiqh yang Ada

11.    Nama Negara Kita Indonesia

12.    Nazhir Mesjid Membeli Tegel Kembang untuk Mesjid, dengan Uang yang Diwakafkan untuk Mesjid

13.    Memindah Bagian dari Mesjid

14.    Mengulang Bacaan Alhamdulillah Oleh Khatib

15.    ‘Iddahnya Perempuan yang Belum Sampai Tahun Lepas dari Haid yang Lalu

 

12.       Muktamar NU ke-12 (Malang, 1937)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 25 Maret 1937

 

Agenda :

1.        Saksi Diminta Bersumpah Supaya Tidak Berdusta

2.        Sebab Kitab Tasrifan Karangan K. Hasyim Padangan Tidak Dimulai dengan Basmalah

3.        Suami berkata: “Kalau Istri Saya Minta Cerai, Saya Cerai Saja”, Kaitannya dengan Ta’liq Talaq

4.        Membakar Lembaran al-Qur’an yang Terserak-serak

5.        Anak Zina Ilhaq pada Suaminya

6.        Orang Kafir pada Akhir Hayatnya Mengucapkan “Laailaha Illallaah”

7.        Menjalankan Apa yang Tersebut dalam al-Qur’an dan Hadis, Tanpa Mazhab

8.        Menitipkan Uang dalam Bank

9.        Pakaian yang Berkotoran Darah Nyamuk Menempel pada Badan yang Masih Basah

10.    Membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir

11.    Menghilangkan Najis dan Hadas Hanya dengan Satu Kali Basuhan

12.    Wali Nikah yang Sudah Mewakilkan Ikut Datang dalam Majelis Nikah

13.    Menukar Tanah Wakaf untuk Mesjid dengan Tanah yang Lebih Banyak Manfaatnya

14.    Tobat Sesudah Matahari Terbit dari Barat

15.    Cabang/MWC/Ranting NU yang Tidak Mengerjakan Anggaran Dasar NU dengan Tidak Karena Maksud Salah

16.    Mendirikan Jum’at yang Lebih dari yang Dibutuhkan

17.    Mengerjakan Shalat Sunat, Padahal Masih Berkewajiban Mengqadha Shalat Wajib

18.    Masyaqat yang Memperbolehkan Jum’at Lebih dari Satu Tempat

 

13.       Muktamar NU ke-13 (Menes Pandeglang Banten, 1938)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 12 Juli 1938

 

Agenda :

1.        Shalat Dhuha dengan Berjamaah

2.        Membaca al-Fatihah Oleh Makmum

3.        Shalat Hari Raya di Lapangan

4.        Bermakmum Kepada Golongan Khawarij Kaitannya dengan I’adah/Mengulang Lagi Shalatnya

5.        Pengertian “Dharurat” Menurut  Syara’

6.        Membeli Padi dengan Janji Dibayar Besok Panen

7.        Menggarapkan Sawah Kepada Orang yang Tidak Mau Mengeluarkan Zakatnya

8.        Menyewa Pohon Karet untuk Diambil Getahnya

9.        Pemberian Hadiah untuk Melariskan Dagangannya

10.    Membeli Serumpun Pohon Bambu

11.    Inventarisasi Kantor yang Dibeli dengan Uang Sumbangan dengan Maksud Wakaf

12.    Menyumpah Pendakwa yang Sudah Mempunyai Bukti

13.    Memberikan Kepada Sebagian Ahli Waris Tanpa Ijab Qabul

14.    Menyerahkan Padi dengan Maksud Zakat

15.    Kepada Anak Muslim, Orang Tua Bernasehat: “Kamu Harus Tetap Pada Agamamu.” Dan Kepada Anak Kristen, Bernasehat: “Kamu Harus Tetap Pada Agamamu.”

16.    Pengertian “Balad” dalam Bab Zakat

17.    Berobat untuk Mencegah Hamil

18.    Membaca al-Qur’an dengan Putus-putus untuk Memudahkan Mengajar Hijaiyyah

19.    Memasuki Organisasi Islam

20.    Menuduh Organisasi Nahdlatul Ulama Sebagai Sesuatu yang Bid’ah

21.    Perkawinan Perempuan yang Dithalaq Raj’i

22.    Menggambar Binatang dengan Sempurna Anggotanya

 

14.       Muktamar NU ke-14 (Magelang, 1939)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 1 Juli 1939

 

Agenda :

1.        Pengertian “Al-Sawad al-A’zham” dalam Hadis Nabi

2.        Ta’wil Hadis “Di mana Tuhan Sebelum Terjadi Langit dan Bumi.”

3.        Pengertian Menyerupai Orang Kafir

4.        Pengertian “Kejelekan” dalam Hadis yang Ada Pada Kitab Qurrahal-‘Uyun

5.        Diam di Tengah Merajalelanya Bid’ah dan Kezhaliman

6.        Menyimpan Gambar yang Diambil dengan Potret, Lain dengan Menggambar Binatang dengan Potret

7.        Memperbaiki Mesjid dan Sesamanya dengan Uang yang Dipungut dari Pasar Malam

8.        Memberikan Zakat kepada Yatim Piatu yang Tidak Faqir atau Sesamanya

9.        Menjual Zakat Fitrah

10.    Perbedaan antara Balad al-Jum’ah dan Balad al-Zakat

11.    Memberikan Zakat kepada Satu Orang Saja

12.    Mengadakan Syirkah/Perseroan dengan Jenis Barangnya

13.    Pinjam dari Koperasi

14.    Maksud “Jrangkong, Thethian, Cenunuk”

15.    Lelaki Diberi Nafkah oleh Istrinya

16.    Membaca al-Qur’an di Gedung Zender Radio

17.    Kitab Taurat, Injil dan Zabur yang Ada pada Tangan Orang Kristen dan Yahudi Sekarang

18.    Sebab Diwajibkan Mengikuti Salah Satu dari Empat Mazhab

19.    Orang Perempuan Belajar Naik Sepeda

20.    Asuransi Jiwa

21.    Mengkhususkan Hak Milik untuk Anaknya Tertua

 

15.       Muktamar NU ke-15 (Surabaya, 1940)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 9 Februari 1940

 

Agenda :

1.        Keluarnya Orang Perempuan Bersama Wanita Lain untuk Bershalat Hari Raya

2.        Tidak Mau Membeli di Toko Orang Islam

3.        Menjual Padi di Tangkainya

4.        Percekcokan Suami Istri Tidak Bisa Didamaikan, Bisa Dianggap Syiqaq

5.        Menyusulnya Anggota Perseroan Pada Syirkah

6.        Mendatangi Rapat Organisasi atau Mengajar

7.        Shalat di Mesjid yang Dibangun dengan Uang Haram

8.        Berdalihkan Dharurat untuk Memperbolehkan Keluarnya Wanita dengan Membuka Aurat

9.        Hasil Perkebunan yang Dibeli dengan Uang Haram

10.    Menikahi Perempuan yang Bukan Pinangannya

11.    Jual Kontrak (Penjualan Tempo dengan Janji yang Tertentu dalam Tempo yang Tertentu Pula)

12.    Menyaksikan Gila untuk Pembubaran Nikah

13.    Adzan Pertama (Sebelum Khotib Naik Mimbar)

 

16.       Muktamar NU ke-16 (Purwokerto, 1946)

 

§  KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)

§  KH. Nachrowi Tohir (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 26-29 Maret 1946

 

Agenda :

1.        Memerangi Tentara Musuh yang  Sudah Ada di Tengah-tengah Kita

2.        Mengeluarkan Zakat Bagian Sabilillah

3.        Perempuan Berpakaian Seragam Tentara

4.        Mayit  Syuhada Dikubur di Tempat Kematiannya

5.        Muslim Masuk Organisasi yang Tidak Berdasar Islam

 

17.       Muktamar NU ke-17 (Madiun, 1947)

 

§  KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)

§  KH. Nachrowi Tohir (Ketua Tanfidziyah)

 

18.       Muktamar NU ke-18 (Jakarta, 1948)

 

§  KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)

§  KH. Nachrowi Tohir (Ketua Tanfidziyah)

 

19.       Muktamar NU ke-19 (Palembang, 1951)

 

§  KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)

§  KH. Abdul Wahid Hasyim (Ketua Tanfidziyah)

 

20.       Muktamar NU ke-20 (Surabaya, 1954)

 

§  KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)

§  KH. Muhammad Dahlan (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 8 – 13 September 1954

 

Agenda :

1.        Menerjemahkan Khotbah Jum’at Selain Rukunnya

2.        Presiden Republik Indonesia Adalah Waliyul Amri Dharuri bi asy-Syaukah

3.        Mengumumkan Awal Ramadhan/Syawal untuk Umum dengan Hisab

4.        Sandiwara dengan Propaganda Islam

5.        Kas Mesjid Dinamakan Baitul Mal

 

21.       Muktamar NU ke-21 (Medan, 1956)

 

§  KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)

§  KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

 

22.       Muktamar NU ke-22 (Jakarta, 1959)

 

§  KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)

§  KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

 

23.       Muktamar NU ke-23 (Surakarta, 1962)

 

§  KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)

§  KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 25–29 Desember 1962

 

Agenda :

1.        Hukum Alkohol

2.        Membangun Gedung Madrasah di Tanah yang Diwakafkan untuk Mesjid

3.        Akad Indekost

4.        Wakaf untuk Sekolah Negeri

5.        Terjemah Akad Nikah

6.        Mengambil Bola Mata Mayit untuk Mengganti Bola Mata Orang Buta

 

24.       Muktamar NU ke-24 (Bandung, 1967)

 

§  KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)

§  KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

 

25.       Muktamar NU ke-25 (Surabaya, 1971)

 

§  KH. Bisri Syansuri (Rais Aam)

§  KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 20-25 Desember 1971

 

Agenda :

1.        Mendepositokan Uang dalam Bank

2.        Shalat Birrul Walidain

3.        Mengumpulkan Air Susu dari Beberapa Ibu untuk di Rumah Sakit

4.        Pembuatan Sajadah dengan Bertuliskan Kalimah Tauhid

5.        Memphoto Orang dengan Tidak Seizin yang Diphoto

6.        Tatswib (ucapan ash-shalatu khairum minannaum) pada Shalat Subuh

7.        Memindahkan Kuburan ke Tempat Lain

8.        Menggunakan Tanah untuk Madrasah, Kaitannya dengan Wakaf

9.        Anggota DPR Melanggar Baiat

 

26.       Muktamar NU ke-26 (Semarang, 1979)

 

§  KH. Bisri Syansuri (Rais Aam)

§  KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 5-11 Juni 1979

 

Agenda :

1.        Al-Qur’an Ditulis dengan Huruf/Brayel

2.        Piringan Hitam atau Kaset dari Al-Qur’an

3.        Terjemah Al-Qur’an oleh Orang yang Bukan Islam

4.        Penggantian Kelamin

5.        Memberi Imbalan Kepada Pengedar Derma

6.        Menambah Kalimah “Abdul Qadir Waliyullah” Sesudah Kalimah Thayyibah

 

27.       Muktamar NU ke-27 (Situbondo, 1984)

 

§  KH. Achmad Siddiq (Rais Aam)

§  KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 8-12 Desember 1984

 

Agenda :

1.        Keutamaan Dana untuk Naik Haji Ghairul Wajib untukMembiayai Amaliyah yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan

2.        Menyembelih Kurban tidak Dibagikan

3.        Kurban Bukan dengan Hewan Tetapi dengan Uang

4.        Menyembelih Kurban di Luar Hari Nahr dan Hari Tasyriq

5.        Tidak Menyembelih Kurban untuk Diserahkan Kepada Fakir/Miskin Sebagai Modal Usaha yang Lebih Produktif

6.        Kulit Hewan Kurban Dikumpulkan dan Dijual untuk Membangun Mushalla, Madrasah

7.        Panitia Zakat yang Dibentuk Kelurahan

8.        Badan-badan Sosial Mendapat Zakat

9.        Sebagian Zakat Tidak Diberikan Kepada Golongan yang Berhak

10.    Sebagian Zakat Dijadikan Modal Usaha

11.    Zakat Fitrah Dijual Oleh Panitia dan Digunakan Menurut Kebijaksanaan Panitia

12.    Menyelenggarakan Shalat Jum’at di Kantor-kantor

13.    Menyelenggarakan Shalat Jum’at di Daerah yang Ada Mesjid dan Telah Menyelenggarakan Shalat Jum’at

14.    Masalah Cek

15.    Pembayaran Menggunakan Cek Kosong

16.    Mencairkan Cek Mundur Mendapat Potongan Berdasarkan Prosentase

 

28.       Muktamar NU ke-28 (Yogyakarta, 1989)

 

§  KH. Achmad Siddiq (Rais Aam)[2]

§  KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 25-28 November 1989

 

Agenda :

1.        Tayamum di Pesawat dengan Menggunakan Kursi Sebagai Alatnya

2.        Usaha untuk Menangguhkan Haid Supaya Bisa Menyelesaikan Ibadahnya

3.        Arisan Haji yang Jumlah Setorannya Berubah-ubah

4.        Haji dengan Cara Mengambil Kredit Tabungan Haji Pegawai Negeri

5.        Nikah Atara Dua Orang Berlainan Agama di Indonesia

6.        Akad Nikah dengan Mahar Muqaddam Sebelum Akad

7.        Kedudukan Thalaq di Pengadilan Agama

8.        Sebelum Berakhir Masa Iddahnya, Ternyata Rahim Tidak Berisi Janin

9.        Memberi Nama Anak dengan Lafal Abdun yang Mudhaf selain Nama Allah

10.    Vasektomi dan Tubektomi

11.    Menggunakan Spiral/IUD

12.    Wasiat Mengenai Organ Tubuh Mayit

13.    Tindakan Medis Terhadap Pasien yang Sulit Diharapkan Hidupnya

14.    Menjual Barang dengan Dua Macam Harga

15.    Air Bersih Hasil Proses Pengolahan

16.    Mu’amalah dalam Bursa Efek

17.    Bursa Valuta dan Kaitannya dengan Zakat

18.    Kedudukan Hak Cipta dalam Hukum Waris

19.    Nama Akad Program Tebu Rakyat Intensifikasi

20.    Hasil dari Kerja Pada Pabrik Bir dan Tempat Hiburan Maksiat

21.    Menghimpun Dana Kesejahteraan Siswa

22.    Mengembangkan Macam-macam Mal Zakawi

23.    Mendayagunakan Harta Zakat dalam Bentuk Usaha Ekonomi

 

29.       Muktamar NU ke-29 (Tasikmalaya, 1994)

 

§  KH. M. Ilyas Ruchiyat (Rais Aam)

§  KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah)

 

Diselenggarakan tanggal 4 Desember 1994

 

Agenda :

1.        Transplantasi Organ Babi untuk Manusia

2.        Kontrasepsi dengan Vaksin yang Bahan Mentahnya Sperma Lelaki

3.        Menitipkan Sperma Suami dan Indung Telur ke Rahim Perempuan Lain

4.        Melontar Jumrah pada Hari Tasyriq Sebelum Tergelincir Matahari

5.        Intervensi Pemerintah dengan Menentukan UMR

6.        Mempekerjakan Wanita pada Malam Hari di Luar Rumah

7.        Akad TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi)

8.        Menggusur Tanah Rakyat untuk Kepentingan Umum

9.        Mencemarkan Lingkungan

 

30.       Muktamar NU ke-30 (Kediri, 1999)

 

§  KH. MA. Sahal Machfudh (Rais Aam)

§  KH. A. Hasyim Muzadi (Ketua Tanfidziyah)

 

31.       Muktamar NU ke-31 (Surakarta, 2004)

 

§  KH. MA. Sahal Machfudh (Rais Aam)

§  KH. A. Hasyim Muzadi (Ketua Tanfidziyah)

 

32.       Muktamar NU ke-32 (Makassar, 2010)

 

§  KH. MA. Sahal Machfudh (Rais Aam)[3]

§  KH. Said Aqil Siradj (Ketua Tanfidziyah)

 

33.       Muktamar NU ke-33 (Jombang, 2015)

 

§  KH. Ma'ruf Amin (Rais Aam)[4]

§  KH. Said Aqil Siradj (Ketua Tanfidziyah)



[1] Jabatan Rais Akbar hanya ada pada masa KH. Hasyim Asy’ari sebagai penghormatan kepada beliau.

[2] Beliau wafat tahun 1991 kemudian digantikan oleh KH. M. Ilyas Ruchiyat menjadi Pjs Rais Aam 1992-1994

[3]Beliau wafat tahun 2014 kemudian digantikan oleh KH. A. Musthofa Bisri menjadi Plt Rais Aam 2014-2015.

[4] Beliau terpilih menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden RI Joko Widodo. Jabatan Rais Aam digantikan oleh KH. Miftachul Akhyar mulai tanggal 22 September 2018.