BULAN PURNAMA YANG INDAH

 


Dalam kehidupan masyarakat Jawa, ada beberapa istilah yang digunakan untuk mengungkapkan atau menggambarkan sesuatu yang dialami atau dirasakan. Baik itu sebuah kesenangan atau hal yang tidak diinginkan. Salah satu yang sering didengar adalah istilah “ketiban ndaru” yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Kejatuhan Bulan”. Kalimat tersebut tentu saja bukan pada makna sebenarnya, yakni kejatuhan bulan sesungguhnya secara fisik. Itu hanyalah istilah untuk menggambarkan betapa senangnya perasaan hati pada saat itu. Entah sebab menerima sesuatu, melihat sesuatu atau mendengarkan sesuatu yang menggembirakan.

 

Hari ini, saya dan beberapa teman melakukan perjalanan ke luar Kota Purwokerto. Tepatnya, kami ke sebuah Desa bernama Karanganyar di Kecamatan Kalibening Kabupaten Banjarnegara, masih di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kurang lebih 2 (dua) jam perjalanan dari Kota Purwokerto ke arah Timur. Pagi-pagi kami berangkat menggunakan kendaraan minibus, dengan harapan bisa sampai di Desa Karanganyar, Kalibening sebelum waktu sholat Dhuhur. Agenda kami hari ini adalah melakukan kunjungan untuk kebutuhan survey lokasi yang akan kami jadikan perkebunan yang dipadukan dengan wisata alam. Program tersebut adalah program inisiasi Koperasi NUMas yang bekerjasama dengan Pemerintah Desa Karanganyar, Kalibening.

 

Perjalanan kami lancar hingga tiba di Desa Karanganyar sekitar pukul 13.45 yang langsung disambut masyarakat sekitar beserta beberapa “pamong” Desa Karanganyar. Setelah istirahat sebentar dan sholat Dhuhur, kami langsung menjalankan agenda utama kami. Areal yang kami kunjungi pada kesempatan ini hanya seluas 170 hektar dan akan difungsikan sebagai perkebunan kopi. Lahan seluas itu akan menampung pohon kopi sebanyak 5000 an pokok pohon kopi jenis Arabika. Agenda berjalan lancar, didukung cuaca yang bersahabat hari ini yang cerah dan sejuk khas pegunungan.

 

Kuranglebih jam 17.00 kami kembali ke rumah salah satu warga yang juga sebagai Kepala Dusun, untuk beristirahat dan menunggu masuk sholat Maghrib. Setelah selesai sholat Maghrib, kami sejenak bercengkerama dengan Kepala Dusun, Kepala Urusan Perencanaan Desa dan beberapa warga. Banyak hal yang kami bicarakan, dengan santai dan keriangan layaknya silaturahmi keluarga.

Hingga tiba saatnya kami berpamitan, bapak Kepala Dusun menyodorkan kepada saya sebuah buku yang lumayan tebal. Terlihat dari sampul dan jenis kertas yang digunakan adalah barang baru. Pikir saya, ini semacam buku tamu yang harus saya isi untuk kebutuhan Desa. Karena yang memberikan kepada saya adalah Kepala Dusun. Saat saya membukanya, ternyata anggapan saya salah. Buku itu adalah sebuah Kitab Kuno karya seorang Ulama Nusantara berkelas Dunia yang juga seorang Pahlawan Nasional.

 

Kitab itu berjudul ABYANAL HAWAIJ atau lebih terkenal dengan nama  Turjumah/Tarjamah. Ditulis oleh Syekh Ahmad Rifa’i sekitar tahun 1849. Beliau adalah seorang Ulama yang lahir sezaman dengan Pangeran Diponegoro. Beliau bukan sekedar Ulama, namun juga tokoh pergerakan dan tokoh pejuang yang kiprahnya dalam melawan Kolonialisme sudah sangat masyhur di wilayah Jawa Tengah. Beliau Syekh Ahmad Rifa’i dilahirkan di Desa Tempur Kabupaten Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1771 (ada riwayat lain tahun 1785).

 

Sebagai Ulama, beliau berdakwah layaknya Ulama-Ulama lainnya, dengan membuka majelis di daerahnya dan berkeliling ke daerah lain dimana beliau dibutuhkan. Sebagai Ulama yang juga pejuang, beliau berjuang melawan Kolonialisme Belanda dengan cara menghimpun masyarakat dalam sebuah jam’iyyah (ormas) yang hingga saat ini masih berjalan yakni Jam’iyyah Rifa’iyah. Awalnya organisasi ini adalah organisasi pemberdayaan masyarakat yang beliau dirikan untuk mengedukasi masyarakat khususnya jama’ah pengikutnya untuk memberdayakan potensi diri dalam hal pertanian, agama dan kewirausahaan. Seiring berjalannya waktu, organisasi ini menjadi semacam perkumpulan para “salik” (pengikut thoriqoh) yang meneruskan ajaran-ajaran beliau.

 

Jam’iyyah Rifa’iyah merupakan Organisasi Masyarakat, dan bukan Thoriqoh Rifa’iyyah. Thoriqoh Rifa’iyah didirikan oleh Abu Abbas ar-Rifa’i yang seorang Ulama dari Basyrah, Iraq. Sementara Jam’iyyah Rifa’iyah adalah sebuah perkumpulan/organisasi kemasyarakatan yang didirikan Syekh Ahmad Rifa’i untuk memberdayakan masyarakat melalui bidang-bidang pertanian, agama dan wirausaha.

 

Beliau dikenal masyarakat sebagai Ulama yang juga gigih berjuang dengan caranya. Yakni membangun semangat masyarakat untuk melawan Kolonialisme Belanda. Beliau menulis banyak Kitab yang berisi Nasehat dan Nadhom-Nadhom yang tidak hanya membahas persoalan Agama, namun juga berisi kritik kepada Kolonial Belanda. Maka tidaklah berlebihan jika kemudian Negara menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Beliau Syekh Ahmad Rifa’i. Gelar Pahlawan Nasional diberikan melalui SK Presiden No. 0089/TK/2004.

 

Kitab Abyanal Hawaij yang dihadiahkan kepada saya malam ini, merupakan Kitab yang membahas Ushuludin, Fiqih dan Tasawuf. Ditulis sekitar tahun 1849 yang merupakan karya terbesar beliau, dari sekitar 50 an Kitab yang pernah beliau tulis. Sebagian Kitab-Kitab beliau diamankan Kolonial Belanda ke Belanda dan sekarang masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Melihat dari tahun penulisannya dan topik bahasan Kitab Abyanal Hawaij tersebut, bisa dikategorikan sebagai Kitab Kuno yang langka. Saya pribadi sangat beruntung bisa mendapatkannya dan membacanya.

 

Sejatinya, bukan hanya soal kunonya usia kitab tersebut. Namun, momen dan waktu saat saya memperoleh kitab tersebut. Di saat saya dan teman-teman sedang dalam upaya menjalankan program pemberdayaan masyarakat di pedesaan melalui bidang-bidang pertanian serta edukasi, saya memperoleh sebuah karya klasik dari seorang Penggerak Masyarakat sekelas Syekh Ahmad Rifa’i. Yang menjadi ke”haru” an saya adalah kesamaan langkah dalam pembedayaan masyarakat meskipun di masa yang berbeda. Beliau adalah “role model” saya dalam menyemangati masyarakat untuk mengeksplorasi kemampuan pribadi, demi kemajuan masyarakat yang mandiri dan beradab.

 

Memperoleh hadiah Kitab tersebut di malam tanggal 15 (jawa) hari ini, merupakan kegembiraan yang luar biasa. Ada rasa haru dan tidak percaya, di sebuah Dusun yang saya anggap jauh dari ke-Ilmu an, apalagi dari seorang penduduk Dusun justru saya mendapatkan sebuah Kitab yang bagi saya adalah sebuah “Masterpiece” dari seorang Ulama kelas dunia.

 

Inilah “ndaru” yang jatuh ke tangan saya malam ini. “ndaru” yang saya syukuri dan menjadi pemicu semangat saya untuk terus menggerakkan masyarakat agar semangat dan percaya diri dalam mengeksplorasi kemampuan mereka masing-masing. Semangat Syekh Ahmad Rifa’i sebagai seorang Ulama Penggerak Masyarakat akan terus saya contoh dalam setiap gerak langkah saya ke depannya.

Bulan malam ini sangat indah, seindah bulan yang “jatuh” ke tanganku. Bulan itu berisi luasnya ilmu, luasnya wawasan dan luasnya pergerakan.

https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arief_Albani