Hari ini, saya dan beberapa teman melakukan perjalanan ke luar
Kota Purwokerto. Tepatnya, kami ke sebuah Desa bernama Karanganyar di Kecamatan
Kalibening Kabupaten Banjarnegara, masih di wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Kurang lebih 2 (dua) jam perjalanan dari Kota Purwokerto ke arah Timur.
Pagi-pagi kami berangkat menggunakan kendaraan minibus, dengan harapan bisa
sampai di Desa Karanganyar, Kalibening sebelum waktu sholat Dhuhur. Agenda kami
hari ini adalah melakukan kunjungan untuk kebutuhan survey lokasi yang akan
kami jadikan perkebunan yang dipadukan dengan wisata alam. Program tersebut
adalah program inisiasi Koperasi NUMas yang bekerjasama dengan Pemerintah Desa
Karanganyar, Kalibening.
Perjalanan kami lancar hingga tiba di Desa Karanganyar sekitar
pukul 13.45 yang langsung disambut masyarakat sekitar beserta beberapa “pamong”
Desa Karanganyar. Setelah istirahat sebentar dan sholat Dhuhur, kami langsung
menjalankan agenda utama kami. Areal yang kami kunjungi pada kesempatan ini
hanya seluas 170 hektar dan akan difungsikan sebagai perkebunan kopi. Lahan
seluas itu akan menampung pohon kopi sebanyak 5000 an pokok pohon kopi jenis
Arabika. Agenda berjalan lancar, didukung cuaca yang bersahabat hari ini yang
cerah dan sejuk khas pegunungan.
Kuranglebih jam 17.00 kami kembali ke rumah salah satu warga yang
juga sebagai Kepala Dusun, untuk beristirahat dan menunggu masuk sholat Maghrib.
Setelah selesai sholat Maghrib, kami sejenak bercengkerama dengan Kepala Dusun,
Kepala Urusan Perencanaan Desa dan beberapa warga. Banyak hal yang kami
bicarakan, dengan santai dan keriangan layaknya silaturahmi keluarga.
Hingga tiba saatnya kami berpamitan, bapak Kepala Dusun
menyodorkan kepada saya sebuah buku yang lumayan tebal. Terlihat dari sampul
dan jenis kertas yang digunakan adalah barang baru. Pikir saya, ini semacam
buku tamu yang harus saya isi untuk kebutuhan Desa. Karena yang memberikan
kepada saya adalah Kepala Dusun. Saat saya membukanya, ternyata anggapan saya
salah. Buku itu adalah sebuah Kitab Kuno karya seorang Ulama Nusantara berkelas
Dunia yang juga seorang Pahlawan Nasional.
Kitab itu berjudul ABYANAL HAWAIJ atau lebih terkenal dengan
nama Turjumah/Tarjamah. Ditulis oleh
Syekh Ahmad Rifa’i sekitar tahun 1849. Beliau adalah seorang Ulama yang lahir
sezaman dengan Pangeran Diponegoro. Beliau bukan sekedar Ulama, namun juga
tokoh pergerakan dan tokoh pejuang yang kiprahnya dalam melawan Kolonialisme
sudah sangat masyhur di wilayah Jawa Tengah. Beliau Syekh Ahmad Rifa’i
dilahirkan di Desa Tempur Kabupaten Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1771 (ada
riwayat lain tahun 1785).
Sebagai Ulama, beliau berdakwah layaknya Ulama-Ulama lainnya,
dengan membuka majelis di daerahnya dan berkeliling ke daerah lain dimana
beliau dibutuhkan. Sebagai Ulama yang juga pejuang, beliau berjuang melawan
Kolonialisme Belanda dengan cara menghimpun masyarakat dalam sebuah jam’iyyah
(ormas) yang hingga saat ini masih berjalan yakni Jam’iyyah Rifa’iyah. Awalnya
organisasi ini adalah organisasi pemberdayaan masyarakat yang beliau dirikan
untuk mengedukasi masyarakat khususnya jama’ah pengikutnya untuk memberdayakan
potensi diri dalam hal pertanian, agama dan kewirausahaan. Seiring berjalannya
waktu, organisasi ini menjadi semacam perkumpulan para “salik” (pengikut
thoriqoh) yang meneruskan ajaran-ajaran beliau.
Jam’iyyah Rifa’iyah merupakan Organisasi Masyarakat, dan bukan
Thoriqoh Rifa’iyyah. Thoriqoh Rifa’iyah didirikan oleh Abu Abbas ar-Rifa’i yang
seorang Ulama dari Basyrah, Iraq. Sementara Jam’iyyah Rifa’iyah adalah sebuah
perkumpulan/organisasi kemasyarakatan yang didirikan Syekh Ahmad Rifa’i untuk
memberdayakan masyarakat melalui bidang-bidang pertanian, agama dan wirausaha.
Beliau dikenal masyarakat sebagai Ulama yang juga gigih berjuang
dengan caranya. Yakni membangun semangat masyarakat untuk melawan Kolonialisme
Belanda. Beliau menulis banyak Kitab yang berisi Nasehat dan Nadhom-Nadhom yang
tidak hanya membahas persoalan Agama, namun juga berisi kritik kepada Kolonial
Belanda. Maka tidaklah berlebihan jika kemudian Negara menganugerahkan Gelar
Pahlawan Nasional kepada Beliau Syekh Ahmad Rifa’i. Gelar Pahlawan Nasional
diberikan melalui SK Presiden No. 0089/TK/2004.
Kitab Abyanal Hawaij yang dihadiahkan kepada saya malam ini,
merupakan Kitab yang membahas Ushuludin, Fiqih dan Tasawuf. Ditulis sekitar
tahun 1849 yang merupakan karya terbesar beliau, dari sekitar 50 an Kitab yang
pernah beliau tulis. Sebagian Kitab-Kitab beliau diamankan Kolonial Belanda ke
Belanda dan sekarang masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden
Belanda. Melihat dari tahun penulisannya dan topik bahasan Kitab Abyanal Hawaij
tersebut, bisa dikategorikan sebagai Kitab Kuno yang langka. Saya pribadi
sangat beruntung bisa mendapatkannya dan membacanya.
Sejatinya, bukan hanya soal kunonya usia kitab tersebut. Namun,
momen dan waktu saat saya memperoleh kitab tersebut. Di saat saya dan
teman-teman sedang dalam upaya menjalankan program pemberdayaan masyarakat di
pedesaan melalui bidang-bidang pertanian serta edukasi, saya memperoleh sebuah
karya klasik dari seorang Penggerak Masyarakat sekelas Syekh Ahmad Rifa’i. Yang
menjadi ke”haru” an saya adalah kesamaan langkah dalam pembedayaan masyarakat
meskipun di masa yang berbeda. Beliau adalah “role model” saya dalam
menyemangati masyarakat untuk mengeksplorasi kemampuan pribadi, demi kemajuan
masyarakat yang mandiri dan beradab.
Memperoleh hadiah Kitab tersebut di malam tanggal 15 (jawa) hari
ini, merupakan kegembiraan yang luar biasa. Ada rasa haru dan tidak percaya, di
sebuah Dusun yang saya anggap jauh dari ke-Ilmu an, apalagi dari seorang
penduduk Dusun justru saya mendapatkan sebuah Kitab yang bagi saya adalah
sebuah “Masterpiece” dari seorang Ulama kelas dunia.
Inilah “ndaru” yang jatuh ke tangan saya malam ini. “ndaru” yang
saya syukuri dan menjadi pemicu semangat saya untuk terus menggerakkan
masyarakat agar semangat dan percaya diri dalam mengeksplorasi kemampuan mereka
masing-masing. Semangat Syekh Ahmad Rifa’i sebagai seorang Ulama Penggerak
Masyarakat akan terus saya contoh dalam setiap gerak langkah saya ke depannya.
Bulan malam ini sangat indah, seindah bulan yang “jatuh” ke
tanganku. Bulan itu berisi luasnya ilmu, luasnya wawasan dan luasnya
pergerakan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arief_Albani