MEMAHAMI NAHDLATUL ULAMA

MEMAHAMI NAHDLATUL ULAMA


BUKU      : MEMAHAMI NAHDLATUL ULAMA
Penulis    : Muhammad Arief Albani
Penerbit  : Cipta Media Nusantara
ISBN       : 978-623-5647-17-3

 

 

 Profil Buku : Memahami Nahdlatul Ulama

 

 


TENTANG BUKU

Nahdlatul Ulama secara umum terlihat sama dengan organisasi lainnya. Begitu pula dengan dinamika organisasi yang terkadang harus menghadapi badai pertikaian hingga intervensi pihak luar yang menginginkan bubarnya Nahdlatul Ulama. Namun pada kenyataannya, Nahdlatul Ulama sejak berdirinya di tahun 1926 hingga saat ini masih tetap menunjukkan eksistensinya. Bahkan, bukan hanya di Indonesia namun meluas hingga mancanegara. Buku ini tidak saja diperuntukkan bagi masyarakat umum agar dapat memahami Nahdlatul Ulama, namun juga sebagai penguatan bagi kader-kader Nahdlatul Ulama yang sedang mendapatkan amanah menjadi pengurus Nahdlatul Ulama di tingkatnya masing-masing.

Menjadi penting untuk mengembalikan pemahaman mengenai tujuan awal berdirinya Nahdlatul Ulama dan memahami tujuan para Muasis Nahdlatul Ulama yang melandaskan berdirinya Jam'iyyah Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Khidmat Agama dan Negara. Nahdlatul Ulama adalah Jam'iyyah Da'wah Diniyah wa Ijtimai'yyah.

 


QUOTE DALAM BUKU

"Pandanglah NU sebagai organisasi pada umumnya, namun sadarilah bahwa NU bukan organisasi yang biasa/umum"
(Penulis)

"Ilmu agama tidak dapat diambil kecuali dari lisan ulama"
(Al-Khafidz Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi)

"Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan"
(Hadhratussyaikh Hasyim Asy'ari - Rais Akbar Nahdlatul Ulama)

"Jika NU adalah rumah, dan ada Allah SWT serta Nabi Muhammad SAW di dalamnya, mana ada makhluk yang berani dengan sengaja mendekati untuk berniat merusak rumah itu
(Penulis)

"Wahabi bukan teroris, mereka antiteror. Tetapi ajarannya satu digit lagi menjadi teroris"
(KH. Said Aqil Siradj)

BULAN PURNAMA YANG INDAH

BULAN PURNAMA YANG INDAH

 


Dalam kehidupan masyarakat Jawa, ada beberapa istilah yang digunakan untuk mengungkapkan atau menggambarkan sesuatu yang dialami atau dirasakan. Baik itu sebuah kesenangan atau hal yang tidak diinginkan. Salah satu yang sering didengar adalah istilah “ketiban ndaru” yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Kejatuhan Bulan”. Kalimat tersebut tentu saja bukan pada makna sebenarnya, yakni kejatuhan bulan sesungguhnya secara fisik. Itu hanyalah istilah untuk menggambarkan betapa senangnya perasaan hati pada saat itu. Entah sebab menerima sesuatu, melihat sesuatu atau mendengarkan sesuatu yang menggembirakan.

 

Hari ini, saya dan beberapa teman melakukan perjalanan ke luar Kota Purwokerto. Tepatnya, kami ke sebuah Desa bernama Karanganyar di Kecamatan Kalibening Kabupaten Banjarnegara, masih di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kurang lebih 2 (dua) jam perjalanan dari Kota Purwokerto ke arah Timur. Pagi-pagi kami berangkat menggunakan kendaraan minibus, dengan harapan bisa sampai di Desa Karanganyar, Kalibening sebelum waktu sholat Dhuhur. Agenda kami hari ini adalah melakukan kunjungan untuk kebutuhan survey lokasi yang akan kami jadikan perkebunan yang dipadukan dengan wisata alam. Program tersebut adalah program inisiasi Koperasi NUMas yang bekerjasama dengan Pemerintah Desa Karanganyar, Kalibening.

 

Perjalanan kami lancar hingga tiba di Desa Karanganyar sekitar pukul 13.45 yang langsung disambut masyarakat sekitar beserta beberapa “pamong” Desa Karanganyar. Setelah istirahat sebentar dan sholat Dhuhur, kami langsung menjalankan agenda utama kami. Areal yang kami kunjungi pada kesempatan ini hanya seluas 170 hektar dan akan difungsikan sebagai perkebunan kopi. Lahan seluas itu akan menampung pohon kopi sebanyak 5000 an pokok pohon kopi jenis Arabika. Agenda berjalan lancar, didukung cuaca yang bersahabat hari ini yang cerah dan sejuk khas pegunungan.

 

Kuranglebih jam 17.00 kami kembali ke rumah salah satu warga yang juga sebagai Kepala Dusun, untuk beristirahat dan menunggu masuk sholat Maghrib. Setelah selesai sholat Maghrib, kami sejenak bercengkerama dengan Kepala Dusun, Kepala Urusan Perencanaan Desa dan beberapa warga. Banyak hal yang kami bicarakan, dengan santai dan keriangan layaknya silaturahmi keluarga.

Hingga tiba saatnya kami berpamitan, bapak Kepala Dusun menyodorkan kepada saya sebuah buku yang lumayan tebal. Terlihat dari sampul dan jenis kertas yang digunakan adalah barang baru. Pikir saya, ini semacam buku tamu yang harus saya isi untuk kebutuhan Desa. Karena yang memberikan kepada saya adalah Kepala Dusun. Saat saya membukanya, ternyata anggapan saya salah. Buku itu adalah sebuah Kitab Kuno karya seorang Ulama Nusantara berkelas Dunia yang juga seorang Pahlawan Nasional.

 

Kitab itu berjudul ABYANAL HAWAIJ atau lebih terkenal dengan nama  Turjumah/Tarjamah. Ditulis oleh Syekh Ahmad Rifa’i sekitar tahun 1849. Beliau adalah seorang Ulama yang lahir sezaman dengan Pangeran Diponegoro. Beliau bukan sekedar Ulama, namun juga tokoh pergerakan dan tokoh pejuang yang kiprahnya dalam melawan Kolonialisme sudah sangat masyhur di wilayah Jawa Tengah. Beliau Syekh Ahmad Rifa’i dilahirkan di Desa Tempur Kabupaten Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1771 (ada riwayat lain tahun 1785).

 

Sebagai Ulama, beliau berdakwah layaknya Ulama-Ulama lainnya, dengan membuka majelis di daerahnya dan berkeliling ke daerah lain dimana beliau dibutuhkan. Sebagai Ulama yang juga pejuang, beliau berjuang melawan Kolonialisme Belanda dengan cara menghimpun masyarakat dalam sebuah jam’iyyah (ormas) yang hingga saat ini masih berjalan yakni Jam’iyyah Rifa’iyah. Awalnya organisasi ini adalah organisasi pemberdayaan masyarakat yang beliau dirikan untuk mengedukasi masyarakat khususnya jama’ah pengikutnya untuk memberdayakan potensi diri dalam hal pertanian, agama dan kewirausahaan. Seiring berjalannya waktu, organisasi ini menjadi semacam perkumpulan para “salik” (pengikut thoriqoh) yang meneruskan ajaran-ajaran beliau.

 

Jam’iyyah Rifa’iyah merupakan Organisasi Masyarakat, dan bukan Thoriqoh Rifa’iyyah. Thoriqoh Rifa’iyah didirikan oleh Abu Abbas ar-Rifa’i yang seorang Ulama dari Basyrah, Iraq. Sementara Jam’iyyah Rifa’iyah adalah sebuah perkumpulan/organisasi kemasyarakatan yang didirikan Syekh Ahmad Rifa’i untuk memberdayakan masyarakat melalui bidang-bidang pertanian, agama dan wirausaha.

 

Beliau dikenal masyarakat sebagai Ulama yang juga gigih berjuang dengan caranya. Yakni membangun semangat masyarakat untuk melawan Kolonialisme Belanda. Beliau menulis banyak Kitab yang berisi Nasehat dan Nadhom-Nadhom yang tidak hanya membahas persoalan Agama, namun juga berisi kritik kepada Kolonial Belanda. Maka tidaklah berlebihan jika kemudian Negara menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Beliau Syekh Ahmad Rifa’i. Gelar Pahlawan Nasional diberikan melalui SK Presiden No. 0089/TK/2004.

 

Kitab Abyanal Hawaij yang dihadiahkan kepada saya malam ini, merupakan Kitab yang membahas Ushuludin, Fiqih dan Tasawuf. Ditulis sekitar tahun 1849 yang merupakan karya terbesar beliau, dari sekitar 50 an Kitab yang pernah beliau tulis. Sebagian Kitab-Kitab beliau diamankan Kolonial Belanda ke Belanda dan sekarang masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Melihat dari tahun penulisannya dan topik bahasan Kitab Abyanal Hawaij tersebut, bisa dikategorikan sebagai Kitab Kuno yang langka. Saya pribadi sangat beruntung bisa mendapatkannya dan membacanya.

 

Sejatinya, bukan hanya soal kunonya usia kitab tersebut. Namun, momen dan waktu saat saya memperoleh kitab tersebut. Di saat saya dan teman-teman sedang dalam upaya menjalankan program pemberdayaan masyarakat di pedesaan melalui bidang-bidang pertanian serta edukasi, saya memperoleh sebuah karya klasik dari seorang Penggerak Masyarakat sekelas Syekh Ahmad Rifa’i. Yang menjadi ke”haru” an saya adalah kesamaan langkah dalam pembedayaan masyarakat meskipun di masa yang berbeda. Beliau adalah “role model” saya dalam menyemangati masyarakat untuk mengeksplorasi kemampuan pribadi, demi kemajuan masyarakat yang mandiri dan beradab.

 

Memperoleh hadiah Kitab tersebut di malam tanggal 15 (jawa) hari ini, merupakan kegembiraan yang luar biasa. Ada rasa haru dan tidak percaya, di sebuah Dusun yang saya anggap jauh dari ke-Ilmu an, apalagi dari seorang penduduk Dusun justru saya mendapatkan sebuah Kitab yang bagi saya adalah sebuah “Masterpiece” dari seorang Ulama kelas dunia.

 

Inilah “ndaru” yang jatuh ke tangan saya malam ini. “ndaru” yang saya syukuri dan menjadi pemicu semangat saya untuk terus menggerakkan masyarakat agar semangat dan percaya diri dalam mengeksplorasi kemampuan mereka masing-masing. Semangat Syekh Ahmad Rifa’i sebagai seorang Ulama Penggerak Masyarakat akan terus saya contoh dalam setiap gerak langkah saya ke depannya.

Bulan malam ini sangat indah, seindah bulan yang “jatuh” ke tanganku. Bulan itu berisi luasnya ilmu, luasnya wawasan dan luasnya pergerakan.

https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arief_Albani

 

 


 

“NAHDLATUL ULAMA BERSAMA ALAM”

“NAHDLATUL ULAMA BERSAMA ALAM”

 
 “Dialah yang menciptakanmu dari Bumi (tanah) dan menjadikanmu sebagai pemakmurnya, maka mohonlah ampun dan bertaubatlah kepada-Nya”
(QS. Hud : 61)
 
Dalam gambar lambang/logo Nahdlatul Ulama (NU) yang paling menonjol adalah gambar Bola Dunia (globe) besar yang menjadi gambar utama. Dikelilingi Bintang berjumlah sembilan dan dilingkari “dadung” (tambang/tali) serta tulisan Nahdlatul Ulama dengan huruf Arab sebagai penegas bahwa Jam’iyyah (organisasi) ini bernama Nahdlatul Ulama.
Gambar Bola Dunia utuh yang tidak hanya menunjukkan letak Indonesia, namun utuh menggambarkan seluruh dunia adalah perlambang bahwa NU merupakan bagian dari Warga Dunia. Sebagai Warga Dunia, maka NU juga memikul tanggungjawab untuk kebaikan dunia ini. Maka tidaklah mengada-ada jika jangkauan tanggung jawab serta aktivitas NU mencakup seluruh alam. Karena NU memang benar-benar “ma’al ‘alamin” atau NU Bersama Alam Semesta.
 

LINGKUNGAN HIDUP
 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
 
Dalam Al-Qur’an telah diterangkan bahwa Manusia diciptakan di Bumi ini agar menjadi “khalifah”, yang bertugas menggunakan segala yang diciptakan Allah SWT serta menjaga kelestariannya. Segala kebutuhan manusia di Bumi ini telah disediakan oleh Allah SWT untuk dimanfaatkan. Namun, jika hanya memanfaatkan saja berarti kita hanya melihat aspek “manusia” nya saja. Sedangkan pemenuhan kebutuhan manusia tidak akan pernah bisa tercukupi jika tidak dibarengi dengan aspek keberlangsungan lingkungan hidup.
Jika ingin terus dapat mengambil manfaat dari Bumi ini, maka manusia harus dapat menjaga keberlangsungan Lingkungan Hidup agar tetap dapat bermanfaat. Jika rusak, maka tidak dapat dimanfaatkan. Jika punah, maka harus mencari penggantinya yang mungkin akan berakibat buruk pada aspek lainnya.
 
KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
 
Bumi kita saat ini menghadapi banyak masalah Lingkungan Hidup. Masalah lingkungan seperti Pemanasan Global, Hujan Asam , Polusi,  Pembuangan Limbah, Penipisan Lapisan Ozon, Perubahan Iklim dan banyak lagi sangat mempengaruhi kehidupan manusia, hewan, dan kehidupan lainnya.
Kerusakan Lingkungan Hidup yang terjadi di Bumi ini, merupakan tanggungjawab manusia sebagai penghuni Bumi ini. Manusia yang menggantungkan segala kebutuhan hidupnya dari apa yang ada di Bumi ini.
Jika kembali melihat pada Al-Qur’an, maka benarlah bahwa kerusakan di Bumi ini merupakan ulah manusia itu sendiri dan layaklah manusia itu sendiri yang harus bertanggungjawab dan mengupayakan kembalinya Lingkungan Hidup yang memberi manfaat.
 
“Telah tampak kerusakandi darat dan di laut akibat perbuatan manusia, agar Allah menimpakan kepada merekasebagian dari perbuatan merekaagar mereka kembali”
(QS. Ar-Rum : 41)
 
Al-Fasad (kerusakan) yang muncul di Bumi ini akibat ulah manusia, dapat terlihat dalam berbagai bentuk. Kekeringan, kematian, kebakaran, banjir bandang, wabah penyakit merupakan contoh-contoh kerusakan akibat ulah manusia di Bumi ini yang tidak memikirkan aspek keberlangsungan Lingkungan Hidupnya.
 
Selama beberapa dekade terakhir, eksploitasi di Bumi telah menimbulkan degradasi Lingkungan Hidup. Kita telah sering melihat bencana alam terjadi di sekitar kita. Banjir Bandang, Gempa Bumi, Badai Salju, Tsunami, dan lain sebagainya.
 
Perubahan iklim adalah salah satu masalah Lingkungan Hidup yang muncul dalam beberapa waktu terakhir ini. Perubahan Lingkungan Hidup memiliki dampak destruktif. Tidak hanya menjadi penyebab mencairnya es di kutub, namun juga mengakibatkan perubahan musim, penyakit baru, dan perubahan situasi iklim secara umum.
 
Dampak destruktif tersebut, mungkin bagi sebagian orang terlihat sebagai aspek manusia saja. Namun bagi NU, hal tersebut juga merupakan persoalan teologi, karena Islam melalui Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW telah memberikan banyak catatan tuntunan dalam menjaga Lingkungan Hidup. Ini berarti kegagalan teologi bagi Umat Islam yang berarti menjadi tanggungjawab NU dalam mengingatkan kembali serta menjadi motor penggerak dalam penyelamatan Lingkungan Hidup yang telah mengarah pada kerusakan yang lebih besar di masa datang.
 
NAHDLATUL ULAMA DAN PENYELAMATAN LINGKUNGAN HIDUP
 
Kualitas Lingkungan Hidup sangatlah berpengaruh terhadap kualitas hidup manusia yang ada di dalamnya. Lingkungan Hidup merupakan karunia Allah SWT kepada manusia, sebagaimana telah disebutkan dalam ayat Al-Qur’an di atas.
Bumi ini telah diciptakan lengkap bersama penunjang kehidupannya. Semua yang ada dalam Bumi ini haruslah seimbang, agar kehidupan yang layak dapat terwujud. Kualitas hidup manusia dipengaruhi oleh kualitas Lingkungan Hidup. Maka, tanggungjawab menjaga kelestarian Lingkungan Hidup merupakan amanah yang tidak bisa ditinggalkan.
Konsekwensi hukum (Islam) kepada manusia sebagai “khalifah” di Bumi ini didasarkan pada konsep “pemanfaatan/pendayagunaan” potensi alam yang telah diciptakan Allah SWT yang memang diperuntukkan bagi manusia. Selain konsep pendayagunaan alam, manusia dituntut untuk belajar bagaimana caranya agar alam ini dapat terus dimanfaatkan untuk keberlangsungan generasi selanjutnya.
Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyyah/Organisasi berlandaskan Islam, yang sudah tentu berpegang pada Al-Qur’an dan Hadits nabi SAW. Jika urusan Lingkungan Hidup ini tidak menjadi persoalan yang harus dipikirkan oleh NU, maka NU tidak berhasil menjalankan fungsi Dakwah Diniyyah nya di tengah-tengah masyarakat. Karena permasalahan rusaknya Lingkungan Hidup bukan saja masalah muamalah, namun menjadi masalah teologi karena telah diamanahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an.
 
Nahdlatul Ulama memandang penting untuk aktif mengatasi persoalan Lingkungan Hidup. Hal ini dibuktikan NU dalam kebijakan-kebijakan teknis yang dengan serius dibicarakan dalam agenda-agenda pertemuan.
Pada Muktamar NU ke-29 yang diadakan pada tanggal 1-5 Desember tahun 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Nahdlatul Ulama dengan sangat serius turut membahas persoalan Lingkungan Hidup.
Dalam hal Al-Masail Al-Mudhu’iyyah,  Nahdlatul Ulama telah menentukan beberapa prinsip dan langkah-langkah penanganan permasalahan Lingkungan Hidup. Prinsip dan Langkah-Langkah tersebut adalah :
 
Masalah Lingkungan Hidup harus dipandang bukan lagi hanya merupakan masalah politis atau ekonomis saja, melainkan juga menjadi masalah teologis (diniyah), mengingat dampak kerusakan lingkungan hidup juga memberi ancaman terhadap kepentingan ritual agama dan kehidupan umat manusia. Karena itu, usaha pelestarian lingkungan hidup harus dipandang dan disikapi sebagai salah satu tuntutan agama yang wajib dipenuhi oleh umat manusia, baik secara individual maupun secara kolektif. Sebaliknya, setiap tindakan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup harus dikategorikan sebagai perbuatan maksiat (munkar) yang diancam dengan hukuman.
Hukum Islam telah menyatakan bahwa hukum mencemarkan lingkungan baik udara, air dan tanah serta keseimbangan ekosistem jika membahayakan adalah haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat) dan kalau terdapat kerusakan maka wajib diganti oleh pencemar.
Pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya pembangunan bidang industri, perlu dijamin kelangsungannya. Namun demikian, pembangunan bidang industri harus dapat menghindari pengaruh sampingan yang dapat merugikan umat manusia secara luas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, atau paling tidak dapat menekan pengaruh negatif seminim mungkin. Jika muncul kebutuhan untuk kepentingan pembangunan yang menuntut dilakukannya eksploitasi alam, maka harus ada jaminan bahwa hal itu benar-benar mengandung manfaat dan maslahah bagi kepentingan umat manusia dan tidak mendatangkan mafsadah di kemudian hari.
Sebagai bangsa yang ingin mengejar ketertinggalan dan merebut kemajuan, pembangunan iptek merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi. Tetapi pembangunan iptek yang kita kehendaki adalah iptek yang bukan bebas nilai (value free) yang seolah-olah berada sendirian di ruang hampa. Industrialisasi dapat dipandang sebagai perwujudan dari konsesi taskhir (penguasaan) kekayaan alam seperti yang dijanjikan Allah SWT dalam kitab suci, tetapi industrialisasi yang kita inginkan adalah yang bertanggungjawab kepada Allah SWT yang memberi kekayaan alam dan kepada kesejahteraan serta martabat umat manusia. Isyarat dari industrialisasi seperti itu adalah dinamis tetapi efisien, produktif tapi tidak ceroboh, kreatif tanpa keserakahan dan rasional tanpa kehilangan hati nurani.
Kegiatan dakwah Islamiyah seharusnya juga diarahkan untuk mengembangkan kepedulian masyarakat terhadap masalah Lingkungan Hidup. Perlu dilakukan penyadaran secara terus menerus bahwa tanggungjawab penyelamatan Lingkungan Hidup merupakan bagian integral dari konsep kekhalifahan manusia di muka bumi secara utuh. Dalam konteks ini para ulama dan tokoh masyarakat seyogyanya menempatkan diri sebagai teladan dan panutan dalam pembangunan Lingkungan Hidup. Materi dakwah yang mengetengahkan pesan-pesan agama, seperti pengertian dosa, maksiat, haram dan sejenisnya, juga harus ditujukan kepada para perusak lingkungan. Demikian juga pengertian tentang pahala, amal jariyah, wajib dan sejenisnya, harus disampaikan bagi orang yang berikhtiar dan melakukan kegiatan pelestarian Lingkungan Hidup.
Pola hidup yang boros (dalam arti yang luas) dan rakus sehingga orang harus mengurus kekayaan alam secara berlebih-lebihan dan tidak bertanggungjawab dengan dalih untuk pembangunan atau kepentingan ekonomi merupakan kenyataan hidup yang harus ditolak, baik karena aalasan agama maupun pertimbangan sosial. Sebaliknya perlu ditumbuhkan kesadaran untuk mengembangkan pola hidup yang hemat dan sederhana serta berorientasi pada masa depan dan menjamin keselamatan hidup umat manusia dan alam.
Perlu dilakukan upaya sinkronisasi kegiatan pembangunan dengan upaya pengembangan Lingkungan Hidup. Selain itu juga perlu ada pendekatan sosial budaya kepada masyarakat melalui pendidikan, penerangan dan bimbingan yang menjelaskan tentang Lingkungan Hidup, manfaat Lingkungan Hidup serta mafsadat-nya jika Lingkungan Hidup tidak dilestarikan.
Untuk membentuk kesadaran dan sikap hidup masyarakat yang bertanggungjawab terhadap Lingkungan Hidup diperlukan pendekatan secara secara yuridis dengan menciptakan peraturan perundang- undangan dan penegakan peraturan tersebut secara tegas dan konsisten.
 
Begitulah keseriusan Nahdlatul Ulama dalam memikirkan Lingkungan Hidup, sebagai bentuk tanggungjawab menjalan amanah. Tidak hanya melihat Lingkungan Hidup sebagai fasilitas hidup yang bebas dieksploitasi oleh manusia, namun juga sebagai amanah Allah SWT untuk harus tetap terjaga keseimbangan serta kelestariannya untuk menjamin kelangsungan hidup generasai yang akan datang.
Kelengkapan kerja dalam NU pun dipersiapkan sejak awal dengan serius. Terbukti dengan adanya Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPP NU) dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU).
LPP NU yang notabene mengusung bidang pertanian secara luas sebagai ruang lingkup tugasnya, merupakan bentuk ikhtiar Nahdlatul Ulama dalam melestarikan Lingkungan Hidup. Karena dari pertanian inilah akan merambah kepada beberapa manfaat pemeliharaan alam serta sekaligus memberi kepastian hidup bagi umat manusia.
Hadhratussyaikh Hasyim Asy’Ari pun kerap menulis himbauan dan petunjuk-petunjuk kepada Warga NU tentang pentingnya pertanian. Salah satu kutipan beliau yang dimuat dalam Surat Kabar Soeara Mosslimin Indonesia tahun 1944 adalah :
“Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.” 
(KH Hasjim Asj’ari, Soeara Moeslimin Indonesia, No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363/15 Januari 1944)
 
Nahdlatul Ulama memang benar-benar “Bersama Alam”, dalam upaya menjalankan amanah dan ikhtiar menciptakan kelayakan Lingkungan Hidup demi tercapainya kelayakan hidup umat manusia. Pertanian adalah ikhtiar yang dapat dilakukan, karena pertanian adalah kegiatan paling populer dan telah menyatu dengan keseharian Warga NU di Indonesia.
Dalam hal ikhtiar lainnya menyangkut Lingkungan Hidup, NU turut andil dalam penanggulangan bencana terkait perubahan iklim yang saat ini mulai kita rasakan efeknya, dan akan terus menyebar menjadi rumit pada masa yang akan datang jika tidak kita tangkal dari sekarang.
 
Kami sebagai Warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin), serta kaum muda generasi penerus kehidupan bumi ini, merasa terpanggil untuk kembali melihat potensi-potensi kerusakan Lingkungan Hidup di sekitar kami dan mulai berupaya menghidupkan kembali sektor-sektor penunjang keberlangsungan Lingkungan Hidup melalui sektor pertanian, perkebunan dan peternakan. Upaya ini merupakan bentuk tanggungjawab dalam menjalankan amanah Allah SWT dan khidmat kami kepada para pendiri Nahdlatul Ulama yang telah lama mengingatkan serta menitipkan permasalahan Lingkungan Hidup tersebut sebagai hal yang penting untuk selalu di-ikhtiarkan.
Bumi ini adalah amanah, yang harus tetap dijaga kelestariannya agar dapat selalu memberikan manfaat bagi umat manusia. Kami bertani sebagai upaya ekonomi, ekologi, politis dan teologis menjalankan amanah Diniyah (Agama) serta menjalankan tugas dan meneruskan program Jam’iyyah Nahdlatul Ulama menjaga stabilitas Lingkungan Hidup dimana kita sekalian berada dan melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
Kami teruskan kembali sebagai pengingat, seperti yang disampaikan Hadhratussyaikh Hasyim Asy’Ari bahwa :
“Dunia akan tertib jika enam hal terpenuhi ; Pertama, agama yang ditaati. Kedua, pemerintah yang berpengaruh. Ketiga, keadilan yang merata. Keempat, ketenteraman yang meluas. Kelima, kesuburan tanah yang kekal. Keenam, cita-cita yang luhur. Kesuburan tanah yang kekal harus disyukuri melalui pengelolaan lahan untuk pertanian.