Siapa yang menyangka bahwa seorang pemuda Kurdi, Iraq bertubuh
kurus yang menjadi asisten pamannya yang seorang ksatria bertubuh tambun
bermata satu itu kelak akan menjadi seorang panglima perang Muslim dan
membangun Dinastinya sendiri.
Pemuda itu bernama Yusuf, atau lengkapnya adalah Yusuf Najmuddin
Al-Ayyubi. Lahir di Benteng Tikrit, Iraq tahun 1138 M saat Ayahnya Najmuddin
Ayyub menjadi Panglima Tentara Seljuk Turki di bawah kepemimpinan Imaduddin
Zanki. Begitu pula pamannya yang bernama Asadudin Syirkuh bin Syadzi atau lebih
dikenal dengan nama Syirkuh yang menjadi Panglima Tentara Zankiyah.
Masa remajanya dihabiskan bersama Ayah dan Pamannya dan terbiasa
membantu mempersiapkan strategi perang serta persenjataan bagi kedua panglima
tentara Zankiyah itu. Pengalaman melihat kebiasaan Ayahnya dan Pamannya itulah
yang membentuk Yusuf najmudin yang kelak dijuluki Shalahudin atau Saladin bagi
pasukan salib Kristen.
Beliau Yusuf Najmudin yang telah matang mendalami ilmu strategi
perang dan persentaan serta politik, akhirnya memutuskan meninggalakn Iraq
untuk menuntut ilmu Agama di Damasqus. Hingga pada tahun 1169 dia diangkat oleh
Sultan Nuruddin Mahmud sebagai wazir (penasehat) kerajaan di Damasqus. Hingga
wafatnya Sultan Nuruddin Mahmud pada tahun 1174, Shalahudin Al-Ayyubi diangkat
menjadi Sultan untuk wilayah Mesir yang dikuasai Sultan Seljuk dari Dinasti
Fathimiah. Meskipun telah diangkat menjadi Sultan Mesir yang menguasai seluruh
Mesir dari Sultan Seljuk, namun beliau Shalahuddin Al-Ayyubi tidak serta merta
mengusir keluarga Dinasti Fathimiah dari Mesir. Shalahuddin Al-Ayyubi inilah
yang mengembalikan ajaran Islam Sunni kembali hidup di Mesir yang sebelumnya dikuasai
pengaruh Syiah.
Saat pertama kali menerima amanah sebagai penguasa Mesir, yang
pertama dilakukan beliau adalah membuat pertahanan kota. Pertahanan kota ini
beliau bangun berupa tembok pembatas kota dan sebuah benteng di atas bukit
Maqattam. Tembok kota dibangun antara Majra Al-‘Uyun melewati Fustath hingga ke
Nil. Hingga sekarang masih bisa kita lihat sisa-sisa temboknya yang sebagian
telah dihancurkan guna akses jalan menuju kota dan sebagian dibangun permukiman
warga.
Pembangunan Benteng di atas bukit Maqattam, dimulai pada tahun
1176. Pembangunan berlangsung selama 40 tahun sampai dengan tahun 1216 meski
Shalahuddin Al-Ayyubi tidak pernah melihat selesainya pembangunan benteng ini.
Salah satu keistimewaan benteng ini adalah pada teknologi
pengairan benteng yang terbilang canggih untuk kondisi saat itu. Sumur
Shalahudin atau disebut Bi’r Yusuf merupakan saluran air yang dialirkan dari
bawah ke atas bukit Maqattam yang jaraknya kuranglebih 4 km menanjak. Hal
inilah yang menjadi salah satu kecanggihan benteng Shalahudin di masa itu.
Dapat mengalirkan air untuk kebutuhan orang-orang yang berada di atas benteng
dengan menaikkan air dari bawah bukit melalui saluran air biasa tanpa
menggunakan pompa.
Sepeninggal Sultan Shalahudin Al-Ayyubi, benteng ini dilanjutkan
pembangunan dan penggunaannya oleh Sultan Al-Malik Al-Kamil yang menggantikan
beliau sebagai penguasa Mesir. Makam Al-Malik Al-Kamil berada di sebelah Makam
Imam Syafi’i.
Al-Malik Al-Kamil membuat sebuah Istana megah di dalam kawasan
benteng ini. Selama kuranglebih 700 tahun, benteng ini menjadi kediaman
penguasa Mesir.
Di dalam benteng ini setidaknya terdapat empat Masjid yang
didirikan oleh tiap-tiap penguasa Mesir yang menempati benteng ini sebagai
kediaman sekaligus benteng pertahanan. Mulai dari Masjid Al-Nasir Muhammad yang
dibangun tahun 1318 oleh Dinasti mamluk, kemudian Masjid Sulaiman Pasha yang
dibangun tahun 1528 pada masa Sulaiman Pasha menguasai Mesir, lalu Masjid
Al-‘Azab yang dibangun dekat gerbang Al-‘Azab pada tahun 1696 oleh Amir Ahmad
Katkhuda dan terakhir adalah Masjid Muhammad Ali Pasha yang dibangun paling
besar dengan corak Ottoman Turki oleh Muhammad Ali Pasha tahun 1830.
Meskipun penyelasaian pembangunan benteng ini tidak dizamani oleh
Sultan Shalahudin Al-Ayyubi sendiri, namun tempat ini tetap menggunakan
namanya. Ini dikarenakan beliau Sultan Shalahudin Al-Ayyubi sangat dihargai dan
dikagumi oleh semua kalangan baik tentara, rakyat maupun penguasa setelahnya.
Sultan Shalahudin Al-Ayyubi sendiri tidak dimakamkan di dalam benteng ini.
Beliau wafat di Damasqus, Suriah pada tahun 1193 dan dimakamkan di Komplek
Masjid Umayyah di Kota Damasqus, Suriah.
Kitab fiqih yang merangkum pendapat dari keempat mazhab. Disusun berdasarkan bab fiqih standar. Tidak ada pencantuman dalil, diskusi maupun pandangan penulisnya. Ini hanya merangkum saja. Tidak lebih. Fungsinya hanya membantu kita mengetahui adakah perbedaan pendapat dalam satu kasus. Judul kitab ini menyifatkan pesan khusus bahwa perbedaan pendapat fiqih para imam mazhab itu adalah rahmat untuk umat.
Di antara karya-karya beliau yang paling bermanfaat, terkenal dan tersebar di semua kalangan adalah kitab“Riyadhus Shalihin”. Hal itu terjadi setelah izin Allah, karena dua hal:
Pertama, isi kandungannya yang memuat bimbingan yang dapat menata dan menumbuhkan jiwa serta melahirkan satu kekuatan yang besar untuk berhias dengan ibadah yang menjadi tujuan diciptakannya jiwa tersebut dan mengantarnya kepada kebahagiaan dan kebaikan, karena kitab ini umum meliputi Targhib dan Tarhib serta kebutuhan seorang muslim dalam perkara agama, dunia dan akhiratnya. Kitab ini adalah kitab tarbiyah (pembinaan) yang baik yang menyentuh aneka ragam aspek kehidupan individual (pribadi) dan sosial kemasyarakatan dengan uslub (cara pemaparan) yang mudah lagi jelas yang dapat dipahami oleh orang khusus dan awam.
Dalam kitab ini penulis mengambil materinya dari kitab-kitab sunnah terpercaya seperti Shohih al-Bukhoriy, Muslim, Abu Daud, An Nasaa’i, At Tirmidziy, Ibnu Majah dan lain-lainnya. Beliau berjanji tidak memasukkan ke dalam bukunya ini kecuali hadits-hadits yang shohih dan beliau pun menunaikannya sehingga tidak didapatkan hadits yang lemah kecuali sedikit itu pun kemungkinan menurut pandangan dan ilmu beliau adalah shohih.
Kedua, tingginya kedudukan ilmiah yang dimiliki pengarang Riyadhush Shalihin ini diantara para ulama zamannya karena keluasan ilmu dan dalamnya pemahaman beliau terhadap sunnah Rasulullah.
Kitab Riyadhush Shalihin ini memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki kitab selainnya dari kitab-kitab Sunnah dan dia benar-benar bekal bagi penasihat, permata bagi yang menerima nasihat, pelita bagi orang yang mengambil petunjuk dan taman orang-orang sholih. Hal inilah yang menjadi sebab mendapatkan kedudukan yang tinggi di kalangan ulama sehingga mereka memberikan syarah, komentar dan mengajarkannya di halaqoh-halaqoh mereka.
Sayyid
Ibrahim adalah putera dari Maulana Muhammad Jumadil Kubro bin Sayyid Zainal
Husain bin Sayyid Zainal Kubro bin Sayyid Zainal ‘Alim bin Sayyid Zainal Abidin
bin Sayyid Husain bin Fathimah binti Rasulullah SAW.
Beliau
Sayyid Ibrahim memiliki dua orang saudara kandung, yakni Maulana Ishaq dan
Sunan Aspadi
Telah
disampaikan pada bagian sebelumnya bahwa dari Sayyid Ibrahim Asmoroqondi inilah
yang nantinya akan banyak menurunkan para Wali di Tanah Jawa dan berkerabat
dengan Raden Wijaya Raja Majapahit yang juga menurunkan banyak keturunan Wali
di Tanah Jawa.
Hubungan
kekerabatan Sayyid Ibrahim dan Raden Wijaya ini juga yang nantinya akan menjadi
jalan bagi masuknya Islam di Tanah Jawa melalui jalur Kerajaan Majapahit hingga
terbangunnya Kerajaan Islam Demak Bintoro dan Kerajaan-Kerajaan lainnya yang
dipimpin oleh Raja Muslim.
RADEN RAHMAT
BIN SAYYID IBRAHIM ASMOROQONDI
Pada bagian
sebelumnya telah disampaikan, bahwa pernikahan Sayyid Ibrahim dan Dewi
Condrowulan Putri Raja Champa menurunkan anak kedua bernama Raden Rahmat.
Raden Rahmat
yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel (sunan ngampel) Putra Sayyid Ibrahim
selanjutnya menikah dengan Dewi Condrowati Putri Aryateja yang berkuasa di
Tuban. Dari pernikahan ini, Raden Rahmat dan Dewi Condrowati dikaruniakan lima
orang anak. Yakni, Siti Syari’ah, Siti Mutmainnah, Siti Khafshoh, Raden Ibrahim
dan Raden Qosim.
Selain
menikah dengan Dewi Condrowati, Raden Rahmat juga menikahi Putri Ki Bangkuning
(ki kembang kuning) bernama Dewi Karimah. Dari pernikahan dengan Dewi Karimah
ini, Raden Rahmat dikaruniakan dua anak, yakni Dewi Murtasiyah dan Dewi
Murtasimah.
MAULANA
ISHAQ BIN MAULANA JUMADIL KUBRO
Maulana
Ishaq bin Jumadil Kubro adalah saudara kandung Sayyid Ibrahim yang nantinya
akan menurunkan keturunan-keturunan yang saling berhubungan dalam sejarah
penyebaran Islam di Tanah Jawa.
Maulana
Ishaq memiliki tiga orang anak yang nantinya akan menjadi tokoh-tokoh penyebar
Islam di Tanah Jawa. Putera Maulana Ishaq tersebut adalah Sayyid Abdul Qodir
yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati Cirebon, kemudian
Dewi Saroh dan Raden Paku yang kemudian dikenal dengan julukan Sunan Giri.
Jadi, dapat
dilihat dari silsilah tersebut bahwa Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri adalah
saudara Sunan Ampel dari jalur persaudaraan kedua ayah mereka yakni Sayyid
Ibrahim dan Maulana Ishaq.
Dari sini
dapat dilihat bahwa proses penyebaran Islam di Tanah Jawa sudah mulai menyebar
di berbagai titik di Tanah Jawa. Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Gunung Jati di
Cirebon dan Sunan Giri di Gresik.
HAJI ‘UTSMAN
(SUNAN MANYURAN/MANYORAN) MANDALIKA
Mandalika
adalah sebuah daerah di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Dari sinilah Islam
menyebar ke daerah Nusa Tenggara hingga Bali.
Adalah
beliau bernama Haji ‘Utsman bin Raja Pendhito bin Sayyid Ibrahim Asmoroqondi. Raja
Pendhito adalah Putra pertama Sayyid Ibrahim dari istri Dewi Condrowulan Putri
Raja Champa yang telah dicantumkan pada bagian sebelumnya.
Haji ‘Utsman
atau lebih dikenal dengan julukan Sunan Manyuran Mandalika menikah dengan Siti
Syari’ah binti Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan dikaruniakan seorang putera
bernama Amir Hasan.
UTSMAN HAJI
(SUNAN ‘UDUNG/NGUDUNG/ANDUNG)
Utsman Haji
juga merupakan putera dari Raja Pendhito bin Sayyid Ibrahim Asmoroqondi yang
berarti saudara Sunan Manyuran (Haji Utsman). Beliau lebih dekenal dengan
julukan Sunan ‘Udung/Ngudung dan dikenal sebagai Imam Masjid Demak di masa
pemerintahan Sultan Trenggono.
Sunan ‘Udung
menikah dengan Dewi Sari puteri Tumenggung Wilatikta. Dari pernikahan ini Sunan
‘Udung dikaruniakan dua orang anak bernama Dewi Sujinah dan Amir Haji yang akan
diceritakan pada bagian selanjutnya.
NYAI GEDE
TONDO DAN KHOLIFAH HUSAIN (SUNAN KERTAYASA) MADURA
Nyai Gede
Tondo adalah putri dari Raja Pendhito, yang berarti saudara dari Sunan Manyuran
dan Sunan ‘Udung. Terlihat jelas bahwa anak keturunan Sayyid Ibrahim
Asmoroqondi sangat dominan menurunkan keturunan-keturunan penyebar Islam di
Tanah Jawa.
Nyai Gede
Tondo bersuamikan seorang mubaligh asal Yaman bernama Kholifah Husain. Kholifah
Husain adalah murid dari Sunan Ampel (Raden Rahmat).
Dari
pernikahan Nyai Gede Tondo dan Kholifah Husain ini, menurunkan seorang putera
bernama Kholifah Sughro.
SITI MUTHMAINNAH
DAN SAYYID MUHSIN (SUNAN WILIS) CIREBON
Siti
Muthmainnah adalah puteri Sunan Ampel, yang berarti saudara Siti Syari’ah istri
Sunan Manyuran Mandalika.
Siti
Muthmainnah menikah dengan seorang mubaligh asal Yaman yang juga murid Sunan
Ampel (Raden Rahmat) bernama Sayyid Muhsin. Dari pernikahan ini, Siti
Muthmainnah dan Sayyid Muhsin dikaruniakan seorang putera bernama Amir Hamzah.
SITI HAFSHOH
DAN SAYYID AHMAD (SUNAN MALAKA)
Siti Hafshoh
adalah puteri Sunan Ampel (Raden Rahmat), yang juga saudara Siti Syari’ah istri
Sunan Manyuran dan Siti Muthmainnah istri Sunan Wilis.
Siti Hafshoh
menikah dengan Sayyid Ahmad (Sunan Malaka) yang merupakan murid Sunan Ampel
(Raden Rahmat). Sayyid Ahmad adalah mubaligh dari Yaman.
Dari
pernikahan ini, Siti Hafshoh dan Sayyid Ahmad (Sunan Malaka) tidak dikaruniakan
anak.
RADEN QOSIM
(SUNAN DRAJAD) SEDAYU
Raden Qosim
adalah putera Sunan Ampel (Raden Rahmat). Berarti saudara Siti Syari’ah, Siti
Muthmainnah dan Siti Hahshoh dan berarti berkerabat keluarga dengan Sunan
Manyuran Mandalika, Sunan Wilis Cirebon dan Sunan Malaka.
Sunan Drajad
(Raden Qosim) menikah dengan Dewi Shofiyah puteri Sunan Cirebon. Dari
pernikahan ini Raden Qosim dikaruniakan tiga anak, yakni Pangeran Terenggana,
Pangeran Sandi dan Dewi Wuryan.
RADEN
IBRAHIM (SUNAN BONANG) TUBAN
Raden
Ibrahim adalah putera Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang merupakan saudara Raden
Qosim (Sunan Drajad).
Beliau Raden
Ibrahim (Sunan Bonang) menikahi Dewi Hiroh puteri Raden Jakandar (Sunan
Bangkalan). Dari pernikahan ini, Raden Ibrahim (Sunan Bonang) dikaruniakan
seorang puteri bernama Dewi Ruhil.
*disarikan
dari Kitab Tarikh al-Auliya karya KH. Bisri Musthofa
Penyebaran
Risalah Islam yang disampaikan Rasulullah SAW kepada umat manusia telah
menyebar luas hingga sebagian besar belahan dunia. Salah satunya adalah
Indonesia, khususnya di Tanah Jawa.
Pada
kesempatan ini, akan secara ringkas disampaikan runtutan sejarah tersebarnya
Islam ke Nusantara yang dibawa oleh para tokoh Agama Islam yang di Tanah Jawa
dikenal dengan sebutan Sunan atau Wali yang lebih dikenal dengan sebutan Wali
Songo beserta generasi Wali Songo setelahnya.
Bagian
Pertama ini, akan diawali dari Champa yang saat ini dikenal dengan nama
Vietnam.
Pada sekitar
tahun 1300 an, dimana saat itu yang menjadi penguasa Kerajaan Champa adalah
Raja Kunthoro. Raja tersebut bukanlah Raja Muslim namun akhirnya nanti akan
menurunkan beberapa keturunan yang berpengaruh pada perkembangan penyebaran
Islam di Nusantara.
Raja
Kunthoro memiliki tiga orang anak, yakni : Darawati Murdaningrum, Dewi
Condrowulan dan Raden Jongkara (jengkara).
Masuknya
pengaruh Islam di Kerajaan Champa, dimulai saat datangnya seorang mubaligh
bernama Sayyid Ibrahim as-Samarkand atau dikenal sebagai Maulana Ibrahim
Asmarakandi (jawa : asmoroqondi). Tujuan kedatangan beliau ke Champa adalah
dakwah untuk mengajak masyarakat Champa mengenal Islam.
Dengan
kepiawaian beliau berdakwah dan atas izin Allah SWT, niat beliau berjalan
lancar bahkan sang Raja pun ikut memeluk Islam serta mengizinkan beliau
menyebarkan Islam di Tanah Champa.
Bahkan
beliau Sayyid Ibrahim Asmarakandi dinikahkan dengan putri kedua Raja Kunthoro
yakni Dewi Condrowulan.
Sebagai
pembuka babak kisah selanjutnya, perlu disampaikan bahwa putri Raja Kunthoro
yang bernama Darawati Murdaningrum menikah dengan Kertawijaya (Raden Wijaya)
Raja Majapahit. Sehingga status Sayyid Ibrahim dan Raden Wijaya akhirnya
menjadi kerabat keluarga Majapahit. Dari hubungan inilah yang nantinya akan
memudahkan penyebaran Islam di Tanah Jawa.
Dari Putri
Raja Champa ini, Sayyid Ibrahim memiliki tiga orang anak. Anak pertama bernama
Raja Pandhito, anak kedua bernama Raden Rahmat dan yang ketiga bernama Siti
Zaenab.
Berbeda
dengan Raden Wijaya yang memiliki banyak anak dari beberapa istri. Namun disini
akan disampaikan beberapa anak Raden Wijaya yang nantinya akan sering
diceritakan pada bagian-bagian selanjutnya. Diantara anak Raden Wijaya yang
akan diceritakan adalah Raden Arya Damar yang merupakan Adipati di Daerah
Palembang dan merupakan Ayah Tiri Raden Fattah (raden patah) yang akan
diceritakan pada bagian selanjutnya.
Dari Puteri
Darawati Murdaningrum, Raden Wijaya memiliki tiga anak, yakni Puteri Hadi yang
selanjutnya menjadi istri Adipati Dayaningrat yang berkuasa di Pengging
(Boyolali), kemudian anak kedua bernama Lembu Peteng yang berkuasa di Sumenep
Madura dan anak ketiga bernama Raden Gugur atau dikenal sebagai Sunan Lawu.
Raden Wijaya
juga memiliki istri dari Ponorogo dan memiliki dua anak, yakni Bathara Kathong
pendiri Kabupaten Ponorogo. Serta Adipati Luwanu/Lowanu Purworejo.
Sedangkan
dari Istri Bagelen, Raden Wijaya memiliki putra bernama Jaran Panoleh yang nantinya
berkuasa di Sampang, Madura.
Putera
terakhir dari Putri Champa adalah Raden Fattah yang nantinya akan mendirikan
Kerajaan Islam pertama di Bintoro Demak.
*disarikan
dari Kitab Tarikh al-Auliya karya KH. Bisri Musthofa
9.Menekuni Membaca al-Qur’an dan Lain-lain
Termasuk Thariqah Mu’tabarah
10.Thariqah yang Mempunyai Sanad Muttashil
Kepada Nabi Saw. Itu Tidak Ada Perbedaannya Satu Sama Lain
11.Masyaqah yang Membolehkan Mengadakan Shalat
Jum’at di Beberapa Tempat
7.Muktamar NU ke-7 (Bandung, 1932)
§KH. Hasyim
Asy'ari (Rais Akbar)
§KH. Achmad
Nor (Ketua Tanfidziyah)
Diselenggarakan tanggal 9 Agustus 1932
Agenda :
1.Menjual Barang dengan Dua Harga: Kontan dan
Kredit dengan Akad Sendiri-sendiri
2.Memakai Pakaian Santiu bagi Lelaki
3.Menjual Bayaran yang Belum Diterima
4.Adzan Jum’at Dilaksanakan dengan Orang Banyak
5.Menanam Ari-ari dengan Menyalakan Lilin
6.Binatang Biawak (Seliro) Itu Bukan Binatang
Dhab
7.Muwakkil Memberikan Uang Rp. 10,- Kepada
Wakil untuk Membeli Ikan. Sesudah Ikan Diterima, Wakil Disuruh Membeli
ikan itu dengan harga 11,- dalam Waktu Satu Hari
8.Dalam Akad Nikah Tidak Ada Syarat
Mendahulukan Pihak Laki-laki atau Perempuan
9.Menjual Kulit Binatang yang Tidak Halal
Dimakan
10.Tidak Mengetahui Ilmu Musthalah Hadits
mengajar Hadis
11.Lelaki Lain Melihat Wajah dan Telapak Tangan
Wanita
8.Muktamar NU ke-8 (Jakarta, 1933)
§KH. Hasyim
Asy'ari (Rais Akbar)
§KH. Achmad
Nor (Ketua Tanfidziyah)
Diselenggarakan tanggal 7 Mei 1933
Agenda :
1.Yang wajib Dipelajari Pertama Kali Oleh
Seorang Mukallaf
2.Memberikan Zakat Kepada Salah Seorang Anggota
Koperasi
3.Menyentuh Imam Oleh Orang yang Akan Bermakmum
4.Wanita Mendatangi Kegiatan Keagamaan
5.Mengubah Nama Seperti Kebiasaan Jamaah Haji
6.Keluarnya Wanita dengan Wajah Terbuka dan
Kedua Tangannya dan Bahkan Kedua Kakinya
7.Menyewakan Rumahnya Kepada Orang Majusi, Lalu
Si Majusi Menaruh dan Menyembah Berhala di Rumah Itu
8.Zakat Ikan dalam Tambak
9.Pengertian Aman dari Siksa Kubur
10.Musafir Sebelum Sampai Tempat yang Dituju,
Menjalani Shalat Jama’ Qashar
11.Kewajiban Zakat bagi Orang yang Memiliki Uang
Simpanan Sampai Senishab
12.Merawat Jenazah yang Tidak Pernah Shalat dan
Puasa
13.Mendirikan Mesjid di Luar Batas Desanya
14.Mendirikan Jum’at di dalam Penjara
15.Membaca Allah dalam Shalawat Masyisyiyah
9.Muktamar NU ke-9 (Banyuwangi,
1934)
§KH. Hasyim
Asy'ari (Rais Akbar)
§KH. Achmad
Nor (Ketua Tanfidziyah)
Diselenggarakan tanggal 23 April 1934
Agenda :
1.Meminum Minyak Al-Qur’an
2.Menyewa Tambak untuk Mengambil Ikannya
3.Menyewa Tambak Milik Pemerintah
4.Masa Hancurnya Jasad Mayit
5.Masih Ditemukan Tulang Mayat yang Lama,
Setelah Kubur Digali
6.Shalat yang Menghadap Lurus ke Barat Benar
(Tidak Membelok ke Arah Kiblat)
7.Mendirikan Mesjid di Wilayah Islam
8.Mengangkut Mayit dengan Kendaraan yang
Ditarik Kuda atau Manusia
9.Menelaah Kitab-kitab Karangan Orang Kafir
10.Menyewa Perahu dengan Seperenam Pendapatan
11.Mengamalkan Pendapat yang Bertentangan dengan
Pendapat Mazhab Empat
12.Orang Islam yang Menjadi Kristen Sampai
Matinya
10.Muktamar NU ke-10 (Surakarta,
1935)
§KH. Hasyim
Asy'ari (Rais Akbar)
§KH. Achmad
Nor (Ketua Tanfidziyah)
Diselenggarakan tanggal 14 April 1935
Agenda :
1.Puasa Sunat dengan Niat Qadha Ramadhan
2.Membayar Fidyah Sebab Meninggalkan Kewajiban
3.Ucapan Seseorang Bahwa: Puasa Itu Hanya untuk
Orang yang Tidak Mempunyai Makanan
4.Hukum Tonel dan Pelakunya
5.Munculnya Perempuan untuk Pidato Keagamaan
6.Mendengarkan Suara Radio dan Menyimpannya
7.Lupa Kalau Sedang Junub, Langsung Shalat
8.Si Junub yang Shalat Karena Lupa Itu, Menjadi
Imam
9.Pengertian “Permusuhan Lahir Batin” antara
Suami Istri
10.Pengertian Sekufu yang Menjadi Syarat Sahnya
Nikah Paksa
11.Pengertian Mampu Membayar Maskawin dengan
Tunai
12.Dalam Akad Nikah Dinyatakan “Kukawinkan
Padamu Perempuan Pinanganmu”. Padahal Lelaki Tidak Pernah Meminangnya
13.Mushalla yang Diwakafkan Tidak Bisa Menjadi
Mesjid, Kalau Tidak Diniatkan
14.Kawin yang Dipaksa, Sebab Berbuat Zina
15.Ongkos Sewa untuk Pasar Malam, Dipergunakan
untuk Biaya Asrama Yatim Piatu
16.Orang Shalat di Dekat Ka’bah, Harus
Benar-benar Menghadap Ka’bah
17.Pindah dari Thariqah ke Thariqah Lain
18.Nikah Secara Tahlil dengan Sengaja Akan
Dicerai Sesudah Bersetubuh
19.Menyerahkan Zakat kepada Salah Seorang
Pezakat
20.Memindahkan Zakat ke Dalam Batas Kota
21.Melihat Barang yang Dijual dengan Memakai
Kacamata
22.Bersentuhan Kulit Laki-laki dengan Kulit
Perempuan Lain Tanpa Beraling-aling
23.Qadha Shalat dan Puasa Oleh Orang Lain yang
Masih Ada Hubungan Famili atau Diizini Famili Mayat
24.Shalat Tarawih Bermakmum Kepada Imam yang
Fasik
25.Hasil Barang Gadaian Dipakai Beramal Saleh
11.Muktamar NU ke-11 (Banjarmasin,
1936)
§KH. Hasyim
Asy'ari (Rais Akbar)
§KH. Achmad
Nor (Ketua Tanfidziyah)
Diselenggarakan tanggal 9 Juni 1936
Agenda :
1.Lelaki Memulai Salam Kepada Perempuan
2.Orang yang Telinganya Bersuara Nging
3.Perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadis Qudsi
4.Shalat Ghaib untuk Mayit yang Berada dalam
Negerinya
5.Organisasi yang Melarang Meminjamkan Hak
Miliknya Kecuali pada Anggotanya
6.Doa dari Nabi dengan Sighat Jama’ Diubah
Mufrad
7.Kentongan dan Bedug yang Dipukul untuk
Memberitahukan Waktu Shalat
8.Menyerahkan Kurban Tanpa Wakil
9.Memberi Ongkos Pengetam Hasil Pengetaman
10.Berhukum Langsung dengan al-Qur’an dan Hadis
Tanpa Memperhatikan Kitab Fiqh yang Ada
11.Nama Negara Kita Indonesia
12.Nazhir Mesjid Membeli Tegel Kembang untuk
Mesjid, dengan Uang yang Diwakafkan untuk Mesjid
13.Memindah Bagian dari Mesjid
14.Mengulang Bacaan Alhamdulillah Oleh Khatib
15.‘Iddahnya Perempuan yang Belum Sampai Tahun
Lepas dari Haid yang Lalu
12.Muktamar NU ke-12 (Malang, 1937)
§KH. Hasyim
Asy'ari (Rais Akbar)
§KH. Machfudz
Siddiq (Ketua Tanfidziyah)
Diselenggarakan tanggal 25 Maret 1937
Agenda :
1.Saksi Diminta Bersumpah Supaya Tidak Berdusta
2.Sebab Kitab Tasrifan Karangan K. Hasyim
Padangan Tidak Dimulai dengan Basmalah
3.Suami berkata: “Kalau Istri Saya Minta Cerai,
Saya Cerai Saja”, Kaitannya dengan Ta’liq Talaq
4.Membakar Lembaran al-Qur’an yang
Terserak-serak
5.Anak Zina Ilhaq pada Suaminya
6.Orang Kafir pada Akhir Hayatnya Mengucapkan
“Laailaha Illallaah”
7.Menjalankan Apa yang Tersebut dalam al-Qur’an
dan Hadis, Tanpa Mazhab
8.Menitipkan Uang dalam Bank
9.Pakaian yang Berkotoran Darah Nyamuk Menempel
pada Badan yang Masih Basah
10.Membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir
11.Menghilangkan Najis dan Hadas Hanya dengan
Satu Kali Basuhan
12.Wali Nikah yang Sudah Mewakilkan Ikut Datang
dalam Majelis Nikah
13.Menukar Tanah Wakaf untuk Mesjid dengan Tanah
yang Lebih Banyak Manfaatnya
14.Tobat Sesudah Matahari Terbit dari Barat
15.Cabang/MWC/Ranting NU yang Tidak Mengerjakan
Anggaran Dasar NU dengan Tidak Karena Maksud Salah
16.Mendirikan Jum’at yang Lebih dari yang
Dibutuhkan
17.Mengerjakan Shalat Sunat, Padahal Masih
Berkewajiban Mengqadha Shalat Wajib
18.Masyaqat yang Memperbolehkan Jum’at Lebih
dari Satu Tempat
13.Muktamar NU ke-13 (Menes
Pandeglang Banten, 1938)
§KH. Hasyim
Asy'ari (Rais Akbar)
§KH. Machfudz
Siddiq (Ketua Tanfidziyah)
Diselenggarakan tanggal 12 Juli 1938
Agenda :
1.Shalat Dhuha dengan Berjamaah
2.Membaca al-Fatihah Oleh Makmum
3.Shalat Hari Raya di Lapangan
4.Bermakmum Kepada Golongan Khawarij Kaitannya
dengan I’adah/Mengulang Lagi Shalatnya
5.Pengertian “Dharurat” Menurut Syara’
6.Membeli Padi dengan Janji Dibayar Besok Panen
7.Menggarapkan Sawah Kepada Orang yang Tidak
Mau Mengeluarkan Zakatnya
8.Menyewa Pohon Karet untuk Diambil Getahnya
9.Pemberian Hadiah untuk Melariskan Dagangannya
10.Membeli Serumpun Pohon Bambu
11.Inventarisasi Kantor yang Dibeli dengan Uang
Sumbangan dengan Maksud Wakaf
12.Menyumpah Pendakwa yang Sudah Mempunyai Bukti
13.Memberikan Kepada Sebagian Ahli Waris Tanpa
Ijab Qabul
14.Menyerahkan Padi dengan Maksud Zakat
15.Kepada Anak Muslim, Orang Tua Bernasehat:
“Kamu Harus Tetap Pada Agamamu.” Dan Kepada Anak Kristen, Bernasehat: “Kamu
Harus Tetap Pada Agamamu.”
16.Pengertian “Balad” dalam Bab Zakat
17.Berobat untuk Mencegah Hamil
18.Membaca al-Qur’an dengan Putus-putus untuk
Memudahkan Mengajar Hijaiyyah
19.Memasuki Organisasi Islam
20.Menuduh Organisasi Nahdlatul Ulama Sebagai
Sesuatu yang Bid’ah
21.Perkawinan Perempuan yang Dithalaq Raj’i
22.Menggambar Binatang dengan Sempurna
Anggotanya
14.Muktamar NU ke-14 (Magelang,
1939)
§KH. Hasyim
Asy'ari (Rais Akbar)
§KH. Machfudz
Siddiq (Ketua Tanfidziyah)
Diselenggarakan tanggal 1 Juli 1939
Agenda :
1.Pengertian “Al-Sawad al-A’zham” dalam Hadis
Nabi
2.Ta’wil Hadis “Di mana Tuhan Sebelum Terjadi
Langit dan Bumi.”
3.Pengertian Menyerupai Orang Kafir
4.Pengertian “Kejelekan” dalam Hadis yang Ada
Pada Kitab Qurrahal-‘Uyun
5.Diam di Tengah Merajalelanya Bid’ah dan
Kezhaliman
6.Menyimpan Gambar yang Diambil dengan Potret,
Lain dengan Menggambar Binatang dengan Potret
7.Memperbaiki Mesjid dan Sesamanya dengan Uang
yang Dipungut dari Pasar Malam
8.Memberikan Zakat kepada Yatim Piatu yang
Tidak Faqir atau Sesamanya
[1]Jabatan Rais Akbar hanya
ada pada masa KH. Hasyim Asy’ari sebagai penghormatan kepada beliau.
[2]Beliau wafat tahun 1991
kemudian digantikan oleh KH. M. Ilyas Ruchiyat menjadi Pjs Rais Aam 1992-1994
[3]Beliau wafat tahun 2014 kemudian digantikan oleh
KH. A. Musthofa Bisri menjadi Plt Rais Aam 2014-2015.
[4]Beliau terpilih menjadi
Wakil Presiden mendampingi Presiden RI Joko Widodo. Jabatan Rais Aam digantikan
oleh KH. Miftachul Akhyar mulai tanggal 22 September 2018.